Friday, May 2, 2008

PERDAGANGAN MANUSIA

UPAYA NON-PENAL DAN UPAYA PENAL
PENANGGULANGAN PERDAGANGAN MANUSIA  DI INDONESIA•
Oleh : Marcella Elwina S


ABSTRAK
Pada umumnya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh melalui upaya non-penal dan upaya penal. Demikian pula, upaya penanggulangan perdagangan manusia (human trafficking) dapat ditempuh melalui upaya non-penal dan upaya penal. Untuk penanggulangan praktek perdagangan manusia lewat jalur non-penal titik berat harus diberikan pada tindakan pencegahan, yang sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya perdagangan manusia. Penanggulangan kemiskinan, kebodohan, kebuta-hurufan serta secara khusus kultur atau budaya yang melanggengkan subordinasi terutama terhadap perempuan dan anak dalam masyarakat harus ditinggalkan. Peran masyarakat, pemerintah dan media juga harus ditingkatkan. Untuk upaya penal penanggulangan dilakukan dengan bantuan hukum pidana.

Kata Kunci : Penanggulangan Perdagangan Manusia, Upaya Penal – Non Penal  

A. Latar Belakang
    Perdagangan manusia (human trafficking) terutama perdagangan perempuan dan anak serta upaya penanggulangannya adalah salah satu issue yang saat ini banyak dibicarakan baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Karena sifatnya, perdagangan manusia oleh masyarakat internasional disebut sebagai bentuk perbudakan masa kini, yang mana skala perkembangan dan modus operandinya terus berkembang dari tahun ke tahun.  
Dalam sejarah, pada awalnya trafficking lebih banyak dilihat sebagai perpindahan perempuan secara paksa melewati batas negara untuk dipekerjakan dalam dunia prostitusi, sehingga pada awalnya konvensi internasional yang mengatur trafficking lebih memfokuskan diri pada hal ini. Saat ini trafficking sering didefinisikan sebagai perpindahan orang (terutama perempuan dan anak), dengan ataupun tanpa persetujuan mereka, dalam suatu negara ataupun lintas negara, untuk semua jenis kerja paksa, tidak hanya prostitusi dan kawin kontrak.  Dengan ini pengertian trafficking menjadi lebih luas dan dapat meliputi berbagai issue dan kekerasan.1
Salah satu perkembangan yang cukup menggembirakan dari pengaturan internasional mengenai trafficking adalah dengan disetujui dan ditandatanganinya the UN Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children pada tahun 2000, sebagai suplemen dari United Nations Conventions against Transnational Organized Crime. Sudah lebih dari 100 negara menandatangani protokol ini, namun untuk diberlakukan dibutuhkan ratifikasi oleh lebih dari 40 negara.2
Dalam Protokol tersebut --yang merupakan definisi internasional pertama dari trafficking, disebutkan bahwa :
‘Trafficking in persons' shall mean the recruitment, transportation, transfer, harboring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labor or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organ.

Pengertian atau definisi dari trafficking ini cukup berbeda dengan pengertian dalam Konvensi tahun 1949 yaitu Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others, yang memfokuskan diri hanya pada prostitusi.  Dengan pengertian yang demikian cukup banyak perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai trafficking3.


B. Korban dan Modus Oprerandi Perdagangan Manusia
Menurut perkiraan, walaupun sebagian korban adalah laki-laki, namun mayoritas korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak-anak4 yang memang kedudukan dan posisi tawarnya dalam masyarakat sangat rentan.  Laporan dari Departemen Luar Negeri pemerintah AS tahun 2004  memperkirakan bahwa lebih dari separuh korban yang diperdagangkan secara internasional diperjual-belikan untuk kegiatan eksploitasi seksual5.
Hampir 800.000 orang diperkirakan diperdagangkan setiap tahunnya di dunia, sehingga perdagangan manusia saat ini dianggap sebagai sumber keuntungan terbesar ketiga dari organized crime atau aktifitas kejahatan internasional yang menyangkut uang jutaan dolar setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan senjata ilegal (illegal weapon). 
Dari sekian banyak korban perdagangan manusia, korban terbanyak diperkirakan berasal dari Asia, yaitu sebanyak 225.000 dari Asia Tenggara dan selebihnya sekitar 150.000 dari Asia Utara. Sekitar 100.000 korban terutama untuk prostitusi dan industri seks berasal dari negara-negara bekas Uni Sovyet; 75.000 dari Eropa Tengah dan Eropa Timur; 100.000 dari Amerika Latin dan Kepulauan Karibia; dan sekitar 50.000-an korban berasal dari Afrika.  Kebanyakan dari korban ini diperdagangkan dan dikirim ke Asia, Timur Tengah, Eropa Barat dan Amerika Utara. 6
Untuk Indonesia, dalam Laporan Unicef tahun 1998 diperkirakan jumlah anak  yang  tereksploitasi  secara  seksual  (dilacurkan) mencapai  40-70ribu anak yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.  Buruknya penanganan serta penanggulangan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia pada mulanya menempatkan Indonesia dalam peringkat ketiga atau peringkat terendah penanganan perdagangan manusia. Peringkat ini diberikan selain karena jumlah korban yang sangat besar juga karena pemerintah dianggap belum menerapkan standar minimum serta belum melakukan usaha-usaha yang berarti dalam penanggulangan kejahatan ini. Di samping itu, dalam berbagai studi dan seminar dinyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu sumber perdagangan manusia, selain sebagai transit dan penerima perdagangan. Setidaknya 10 provinsi di Indonesia dinytakan sebagai daerah sumber, 16 propinsi sebagai daerah transit dan 12 propinsi sebagai penerima7.
Beberapa lembaga serta LSM internasional menyatakan bahwa sesungguhnya jumlah perdagangan manusia di dunia melebihi perkiraan tersebut. Perdagangan tersebut menurut prakiraan LSM internasional bahkan sampai melewati angka 2 juta manusia setiap tahunnya.  Hal ini disebabkan karena human trafficking adalah usaha atau perdagangan ilegal, sehingga data statistik serta dokumentasi yang ada kurang dapat dipakai sebagai pegangan. Selain itu biasanya human trafficking ini dilakukan dengan modus atau dibungkus dengan berbagai macam cara, sehingga ditemui berbagai kendala serta kesulitan untuk cara penanganannya.
Beberapa hal yang menyebabkan ketidak pastian besarnya jumlah perdagangan manusia juga disebabkan karena perbedaan persepsi mengenai definisi atau apa yang disebut dengan human trafficking.  Human trafficking atau trafficking in person bisa memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang. Banyak situasi di Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai trafficking, tetapi tidak dianggap sebagai trafficking.
Ada beberapa hal yang menyebabkan human trafficking di dunia setiap tahun jumlahnya semakin meningkat.  Secara umum dapat dikatakan bahwa kemiskinan, krisis ekonomi serta perang atau konflik bersenjata8 baik internasional maupun internasional adalah penyebab yang utama. Selain itu globalisasi juga mempertinggi tingkat mobilisasi masyarakat antar negara, baik secara legal maupun ilegal.  Dari sini kemudian beberapa organisasi kejahatan internasional9 mengambil kesempatan untuk mengambil keuntungan dari situasi  seperti ini.
Secara khusus, subordinasi terhadap perempuan dalam masyarakat, juga menyumbangkan angka terhadap meningkatnya jumlah human trafficking.  Hal ini disebabkan karena tingginya jumlah permintaan (demand) terhadap pekerja seks, industri seks, sex tourism, tenaga kerja murah serta pekerja domestik atau pembantu rumah tangga. Peran perempuan dan anak dalam keluarga dan masyarakat; minimnya pendidikan terutama pendidikan perempuan serta tingginya angka korupsi juga ditengarai sebagai salah satu sebab tingginya angka trafficking.  Selain itu minimnya pengaturan hukum dan buruknya law enforcement, hukum dan kebijakan yang bias jender, serta kurangnya political will dari masing-masing negara juga menyebabkan angka trafficking terus meningkat.
Beberapa negara bahkan tidak memiliki aturan hukum yang mengatur masalah trafficking ini. Dalam beberapa kasus, aparat yang seharusnya menangani masalah bahkan dapat disuap dan bekerjasama dengan para pedagang dengan cara memalsukan dokumen-dokumen penting.
Biasanya para pelaku trafficking mendapatkan serta mempengaruhi korban dengan beberapa cara.  Untuk beberapa kasus, para korban yang biasanya adalah perempuan ini didapatkan dengan cara melakukan penculikan dan pemindahan lintas negara secara paksa.  Penculikan terhadap anak terutama diperdagangkan untuk diadopsi dan prostitusi anak. 
Dalam kasus lain, korban dipengaruhi dengan cara diiming-imingi pekerjaan supaya mau berimigrasi secara sukarela dengan janji-janji palsu seperti bayaran atau gaji yang menarik sebagai model, penari, penyanyi, pembantu rumah tangga dan juga dijanjikan akan dicarikan jodoh.  Dengan menyediakan dokumen palsu dan transportasi sampai korban tiba di tempat tujuan, para pelaku trafficking ini kemudian meminta uang jasa yang besar dan bisanya kemudian menciptakan utang yang kemudian harus dibayar oleh korban seumur hidupnya ‘life-time debt bondage’. 
Dalam konteks Indonesia, human trafficking secara umum banyak terjadi terhadap buruh migran  --terutama terhadap buruh migran yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (unskilled domestic workers)--, dalam industri seks sebagai pekerja seks, buruh anak (kasus pekerja anak di Jermal, Sumatera Utara), dijadikan pengemis, pengedar obat-obatan terlarang, juga dijanjikan jodoh seperti fenomena yang banyak terjadi di Singkawang, Kalimantan Barat dengan pria asal Taiwan.  Memang untuk beberapa kasus, perkawinan berakhir bahagia. Namun dalam banyak kasus, para perempuan ini dilaporkan harus bekerja layaknya budak di rumah suami mereka dengan waktu yang sangat panjang. Ada pula yang kasus di mana istri dipaksa oleh suami bekerja dalam industri seks.10
Namun dalam banyak kasus pula, sebenarnya human trafficking ini tidak perlu melibatkan organisasi kejahatan internasional dan bahkan dapat dilakukan baik secara sadar atau tidak sadar oleh siapapun.  Dalam kasus buruh migran misalnya secara sadar atau tidak sadar trafficking in person ini bisa dilakukan baik oleh Perusahaan Jasa Tenaga Kerja; agen yang mencari jasa tenaga kerja; pemerintah; majikan; mucikari; bahkan anggota keluarga sendiri baik suami, orang tua atau anggota keluarga yang lain (paman, bibi, kakak, adik, tetangga dll).

C. Pengaturan  Internasional  terkait  Upaya  Penanggulangan  Perdagangan
    Manusia

    Mengingat sifatnya yang berbahaya, sebagai upaya perlindungan terhadap korban dan hak asasi manusia, sudah sejak lama masyarakat internasional memberikan perhatian bagi penanggulangan kejahatan ini. Berikut ini sebagian norma dan pengaturan internasional (baik yang secara langsung atau tidak langsung ditujukan terhadap penanggulangan perdagangan manusia) yang dikembangkan baik oleh United Nation maupun beberapa Inter-Governmental Organizations (IGOs) baik itu berupa deklarasi, resolusi, rekomendasi dan traktat yang sering disebut sebagai instrumen internasional, sebagai respon dari pelanggaran hak asasi yang terutama bertujuan untuk menghapuskan perdagangan perempuan dan anak atau ‘trafficking in women and children’, kerja paksa atau ‘forced labour’ dan praktek-praktek perbudakan ‘slavery-like practices’ sampai akhir tahun 200211. 
Pengaturan tersebut adalah :
1926 – Slavery Convention, League of Nations Convention;
1948 – United Nation Declaration of Human Rights (UDHR);
1949 - Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others;
1953 – Protocol amending the Slavery Convention;
1956 – Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery;
1957 – Convention on the Nationality of Married Women;
1962 – Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages;
1965 – Convention on the Elimination of all forms of Racial Discrimination;  diasesi oleh Indonesia 25 Juli 1999
1966 – International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);
1966 – International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR);
1979 – Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW); diratifikasi dengan UU 7/1984
1984 – Convention against Torture and other Cruel, Inhuman and Degrading Treatment or Punishment; diratifikasi oleh Indonesia 27 Nopember 1998
1985 – Declaration on the Human Rights of Individuals Who are not Nationals of the Country in which They Live;
1985 – Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power – Diadopsi oleh Majelis Umum dengan Resolusi 40/34
1989 – Conventions on the Rights of the Child (CRC); diratifikasi dengan Keputusan Presiden 36/1990
1990 – Convention on the Protection of the Roghts of all Migrant Workers and Members of their Families;
1992 – Recommendation No. 19 on Violence Against Women, the UN Committee to End Discrimination Against Women;
1993 – Vienna Declaration and Programme for Action;
1993 – Recommendation of the UN Commission on the Status of Women;
1994 – Appointment of UN Special Rapporteur on Violence Against Women;
1994 – Resolution 38/7 – Violence Against Woman Migrant Workers, Commission on the Status of Women;
1995 – Resolution 39/6 – Traffic in Women and Girls, Commission on the Status of Women;
1995 – The Fourth World Conference on Women (Beijing) and the Beijing Declaration and Platform for Action;
1996 – United Nations General Assembly (UNGA) Resolution 51/66 : Traffic in Women and Girls;
1998 – Rome Statute for international Criminal Court;
1999 – Optional Protocol to the Convention on the Elimination of Discrimination against Women;
2000 – Convention against Transnational Organized Crime; ditandatangani Indonesia Desember 2000
2000 – United nations General Assembly (UNGA) Resolution 55/67 : Traffic in Women and Girls;
2000 -  the UN Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplement to the United Nations Conventions against Transnational Organized Crime; ditandatangani Indonesia Desember 2000
2000 – Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography; diratifikasi Indonesia 24 September 2001
2002 – United Nation Recommended Principles and Guidelines on Human Rights and Human Trafficking;
2002 – United Nations General Assembly (UNGA) Resolution: Traffic in Women and Girls.

Selain  Instrumen Internasional yang sudah disebutkan di atas, Organisasi Buruh Internasional ILO juga membuat beberapa konvensi yang dapat digunakan untuk menanggulangi trafficking.  Beberapa konvensi ILO tersebut adalah :
1930 – Forced Labour Convention (No. 29); diratifikasi Indonesia tahun 1950;
1949 – The Protection of Wages Convention, 1949 (No. 95);
1949 – The Migration for Employment Convention (Revised), (No. 97);
1957 – The Abolition of Forced Labour Convention (No. 105); diratifikasi Indonesia tahun 1999
1958 – The Discrimination (Employment and Occupation) Convention (No. 111); diratifikasi Indonesia tahun 1999
1964 – Employment Policy Convention (No. 122);
1973 – Minimum Age for Employment Convention (No. 138); diratifikasi Indonesia dengan UU 20/1999;
1975 – The Migrant Workers (Supplementary Provisions) Convention (No. 143);
1989 – Indigenous and Tribal Peoples Convention (No. 169);
1997 – The Private Employment Agencies Convention (No. 181);
1998 – Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work;
1999 – Convention on the Worst Forms of Child Labour Convention (No. 182); diratifikasi Indonesia dengan UU 1/2000.

Dari apa yang terungkap di atas, pengaturan internasional baik langsung atau tidak langsung yang mengatur mengenai perdagangan manusia sudah sejak lama dibuat, bahkan sudah sejak tahun 1926. Hal ini dapat menunjukkan bahwa kasus perdagangan manusia dianggap oleh masyarakat internasional sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

D. Penanggulangan Perdagangan Manusia dengan Upaya Non-Penal dan Penal
1. Upaya Non-Penal
    Merujuk pada pendapat Hoefnagels bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara : 1) dengan penerapan hukum pidana; 2) dengan pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan 3) mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan, Barda Nawawi Arief secara garis besar kemudian membagi upaya tersebut menjadi dua yaitu lewat jalur penal (hukum pidana)  yang lebih menitikberatkan pada sifat ‘repressive’ yaitu sesudah kejahatan terjadi dan lewat jalur non-penal (bukan/di luar hukum pidana), yang lebih menitikberatkan adapa sifat ‘preventive’ (pencegahan/penangkalan) sebelum tindak pidana terjadi.12  Untuk menanggulangi praktek perdagangan perempuan dan anak, ketiganya harus secara bersama-sama dilakukan.
Untuk penanggulangan praktek perdagangan manusia lewat jalur non-penal titik berat harus diberikan pada tindakan pencegahan sehingga sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya praktek perdagangan manusia tersebut. Faktor-faktor kondusif ini antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang ada secara riil dalam masyarakat. Kemiskinan, kebodohan, praktek subordinasi terhadap perempuan dan anak dapat ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif yang menumbuhsuburkan perdagangan manusia (khususnya perempuan dan anak). 
Dapat dikatakan bahwa upaya non-penal menduduki posisi kunci dari keseluruhan upaya menanggulangi sebab-sebab perdagangan manusia, karena sesungguhnya strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime)13 dan merupakan ‘strategi pencegahan kejahatan yang mendasar’ (the basic crime prevention strategies)14, sehingga dalam resolusi No. 3 Konggres PBB ke-6 disebutkan bahwa semangat atau jiwa manusia dan usaha untuk memperkuat kembali keyakinan manusia untuk berbuat baik (the crime prevention strategies should be based on exalting the spirit of man and reinforcing his faith in his ability to do good) harus selalu ditingkatkan.
Sehubungan dengan upaya non-penal, untuk mencegah praktek perdagangan manusia atau human trafficking ini, maka masyarakat harus diberi pengertian serta pengetahuan mengenai upaya penanggulangan trafficking ini. Penanggulangan kemiskinan, kebodohan, kebuta-hurufan serta secara khusus kultur atau budaya yang melanggengkan subordinasi terutama terhadap perempuan dan anak dalam masyarakat juga harus mulai ditinggalkan. Penguatan nilai-nilai dalam keluarga dan masyarakat menjadi sangat penting guna mencegah upaya-upaya pihak tertentu mengambil kesempatan serta keuntungan dari kondisi melemahnya nilai-nilai dalam keluarga dan masyarakat.  Peran pemeritah serta media massa juga harus ditingkatkan guna meningkatkan pengetahuan serta pengertian masyarakat.  
2. Upaya Penal
Selain upaya non-penal yang sifatnya preventif, maka penanggulangan praktek perdagangan manusia dapat ditempuh melalui jalur hukum. Pengaturan hukum sendiri merupakan bagian dari politik kriminal atau penal policy.
Di muka telah disebutkan bahwa minimnya pengaturan hukum dan buruknya law enforcement, hukum dan kebijakan yang bias jender, serta kurangnya political will15 menyebabkan angka trafficking terus meningkat. Dengan demikian ketiga aspek tersebut seyogyanya harus secara integral ditindak-lanjuti secara bersama-sama.  
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dimaksudkan sebagai undang-undang ‘payung’ menyatakan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari praktek perdagangan manusia. Dalam  Pasal 20 diatur perlindungan terhadap perempuan dari praktek perdagangan manusia dan dalam Pasal 65 diatur perlindungan terhadap anak dari praktek perdagangan manusia.
Dalam prakteknya, aturan hukum yang secara umum diberlakukan untuk menanggulangi praktek perdagangan manusia sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah aturan yang ada dalam KUHP yaitu Pasal 297 dan Pasal 324 KUHP16.  Sejak dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2007, pengaturan tindak pidana perdagangan orang sebagaimana diatur dalam Pasal 297 dan 324 KUHP dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 dapat dikatakan sebagai suatu peningkatan perlindungan terhadap praktek perdagangan manusia, setidaknya dalam hal pengaturan17, karena sebelumnya pasal yang mengatur perdagangan manusia hanya Pasal 297 dan 324 KUHP (untuk anak perlindungan ini sudah secara khusus diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).  Dikatakan adanya peningkatan perlindungan setidaknya dalam hal pengaturan disebabkan pengaturan yang ada dalam Pasal 297 dan 324 KUHP dirasakan sudah tidak cukup memadai, selain dianggap memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban18. 
Untuk jelasnya dalam Pasal 297 KUHP disebutkan bahwa : perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.  Karena sangat umum dan sumir, maka banyak praktek yang dapat dikategorikan sebagai bentuk perdagangan manusia tidak dapat dijerat dengan pasal ini.
Selain pasal 297 KUHP yang secara khusus menyebutkan mengenai perdagangan/trafficking, beberapa pasal yang dapat dikategorikan sebagai trafficking atau beberapa pasal yang dapat digunakan untuk meng-counter trafficking dalam KUHP dimasukkan dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan.  Pasal-pasal tersebut adalah pasal 285, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295 (2) ke-1 dan ke-2, 296, 298 dan 506.  Pasal-pasal ini terutama mengatur kejahatan eksploitasi seks.
Selain itu pasal-pasal lain dalam KUHP yang dapat digunakan untuk meng-counter trafficking adalah Pasal-pasal yang diatur dalam Bab XVIII mengenai Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 330 (1) dan (2), 331, 332, 333 (1) s/d (4), 334 (1) s/d (3), 328 dan 329. Khusus untuk Perbudakan, pasal 324-327 KUHP telah dicabut.19
Selain pasal-pasal dalam KUHP dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, beberapa pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan dapat pula digunakan untuk menanggulangi trafficking. Sebagai contoh misalnya aturan mengenai larangan perdagangan organ tubuh20 untuk kepentingan komersial, UU Keimigrasian, UU Ketenagakerjaan, juga beberapa UU dan pengaturan internasional yang telah diratifikasi yang mengatur mengenai Pekerja Anak21 dsb.
Cukup menarik bahwa dalam UU No. 15 / 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo UU No. 25 / 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 2 ayat (1) butir (k) disebutkan aturan mengenai hasil tindak pidana pencucian uang yang diperoleh dari tindak pidana perdagangan manusia. Hal ini merupakan suatu kemajuan yang cukup berarti.
Secara khusus untuk anak diatur pula perlindungan terhadap praktek perdagangan anak dalam Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.  Bunyi Pasal 83 tersebut adalah sebagai berikut :
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Beberapa pengaturan tentang perdagangan manusia dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang  adalah sebagai berikut :
Mengenai pengertian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir 1: Perdagangan Orang adalah :
tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Selain itu dimasukkan pula pengertian ekploitasi dan ekploitasi seksual. Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 7 adalah:
tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan,  pemerasan, pemanfaatan fisik,  seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan  tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

Sedangkan pengertian ekploitasi seksual dalam Pasal 1 butir 8 adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
Ketiga pengertian ini kiranya dimasukkan dalam pasal kententuan umum sebagai upaya untuk meng-counter berbagai macam modus operandi yang biasa dilakukan pelaku tindak pidana perdagangan manusia. Pengertian yang dimasukkan ini terlihat merujuk dari pengertian sebagaimana dinyatakan dalam the UN Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children yang diterima pada tahun 2000 sebagai Supplement to the United Nations Conventions against Transnational Organized Crime yang ditandatangani oleh Indonesia pada Desember 2000.
Untuk pengaturan mengenai tindak pidana atau delik pidananya dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu 1) kategori tindak pidana perdagangan orang yang diatur dalam Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 18; dan 2) kategori tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang diatur dalam Bab II Pasal 19 sampai dengan Pasal 27.
Untuk tindak pidana perdagangan orang meliputi :
Pasal 2 tentang tindak pidana perdagangan orang (umum);
Pasal 3 tentang memasukkan orang ke dalam wilayah Indonesia untuk dieksploitasi baik di Indonesia maupun di negara lain;
Pasal 4 tentang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah Indonesia untuk dieksploitasi;
Pasal 5 tentang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu untuk tujuan eksploitasi;
Pasal 6 tentang pengiriman anak ke dalam atau ke luar Indonesia yang mengakibatkan anak tereksploitasi;
Pasal 7 mengatur pemberatan pidana apabila korban kemudian menderita luka berat dan mati;
Pasal 8 mengatur tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang serta pemberatannya;
Pasal 9 mengatur tentang usaha menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 10 mengatur tentang pembantuan dan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 11 mengatur tentang perencanaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 12 mengatur tentang penggunaan atau pemanfaatan korban tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 13 mengatur tentang korporasi sebagai pelaku tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 14 mengatur tentang panggilan terhadap korporasi;
Pasal 15 tentang pemberatan pidana apabila korporasi melakukan tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 16 mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi berikut pemberatannya;
Pasal 17 mengatur pemberatan apabila tindak pidana perdagangan orang dilakukan terhadap anak;
Pasal 18 mengatur tentang korban, di mana korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang tidak dipidana.

Untuk pengaturan kategori tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut :
Pasal 19 tentang pemalsuan dokumen atau identitas untuk memudahkan tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 20 tentang kesaksian palsu yang diberikan dalam sidang tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 21 tentang penyerangan terhadap saksi atau petugas di persidangan perkara tindak pidana perdagangan orang dan pemberatannya;
Pasal 22 tentang mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses pemeriksaan terhadap tersangka, terdakwa atau saksi;
Pasal 23 tentang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dengan cara memberikan atau meminjamkan uang, barang atau harta kekayaan lainnya, menyediakan tempat tinggal, menyembunyikan pelaku atau informasi keberadaan pelaku;
Pasal 24 tentang pemberitahuan (pembeberan) identitas saksi atau korban yang harus dirahasiakan;
Pasal 25 tentang pidana pengganti berupa kurungan apabila terpidana tidak membayar denda;
Pasal 26 mengatur tentang tidak hapusnya penuntutan karena persetujuan korban; dan
Pasal 27 mengatur tentang hilangnya hak menagih utang dan hapusnya perjanjian, jika hak atau perjanjian tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban;

Selain pengaturan di atas, banyak perkembangan lain yang sangat berarti yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 dalam rangka pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Perkembangan tersebut misalnya diaturnya  ketentuan mengenai alat bukti elektronik, kewenangan menyadap telepon atau alat komunikasi lain apabila ada bukti permulaan terjadinya tindak pidana perdagangan orang, pemblokiran harta kekayaan pelaku yang disimpan oleh  penyedia jasa keuangan, penggunaan tele-conference bila saksi dan/atau korban tidak dapat hadir di persidangan, perlindungan terhadap saksi dan korban (sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban), hak atas restitusi dari pelaku, hak rehabilitasi dan reintegrasi sosial dari pemerintah, pencegahan dan penanganan, kerjasama internasional dan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang.
Perlu pula kiranya dipaparkan bahwa sebelum UU No. 21 Tahun 2007 diundangkan, perancang Konsep KUHP juga telah berupaya untuk memasukkan jenis tindak pidana ini dalam Konsep atau Rancangan Undang-Undang KUHP.  Tindak pidana tersebut terutama diatur dalam Bab XXI tentang Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan Orang.  Pasal-pasal tersebut adalah22 :
Pasal 544 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang;
Pasal 545 tentang Memasukkan Orang ke dalam Wilayah Indonesia untuk Diperdagangakan;
Pasal 546 tentang Mengeluarkan Orang dari Wilayah Indonesia untuk Diperdagangkan;
Pasal 547 tentang Perdagangan Orang yang Mengakibatkan Luka Berat atau Penyakit;
Pasal 548 tentang Perdagangan Orang oleh Kelompok yang Terorganisasi;
Pasal 549 Penganjuran Tanpa Hasil;
Pasal 550 tentang Persetubuhan dan Pencabulan terhadap Orang yang Diperdagangkan;
Pasal 551 tentang Pemalsuan Dokumen atau Identitas untuk Memudahkan Perdagangan Orang;
Pasal 552 tentang Penyalahgunaan Kekuasaan untuk Perdagangan Orang;
Pasal 553 tentang Menyembunyikan Orang yang Melakukan Perdagangan Orang;
Pasal 554, 555 tentang Perdagangan Orang di Kapal;
Pasal 556 tentang Pengangkutan Orang untuk Diperdagangkan dengan Menggunakan Kapal;
Pasal 557, 558,  mengatur Tindak Pidana bagi orang yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan, yang merencanakan, menyuruh lakukan, percobaan atau pembantuan untuk terjadinya TP Perdagangan Orang;
559 mengatur tindak pidana terhadap orang yang menyediakan atau mengumpulkan dana yang digunakan untuk melakukan perdagangan orang.

E. Penutup
    Di tingkat nasional, Rencana Aksi Nasional untuk menghapus perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak sebenarnya telah dicanangkan sejak tanggal 30 Desember 2002 melalui Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002.  Rencana Aksi ini merupakan dasar dan petunjuk bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan penghapusan praktek perdagangan perempuan dan anak. 
    Presiden dalam hal ini kemudian menunjuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan sebagai lembaga untuk membuat kebijakan atau ‘policy-making’ serta mengimplementasikan program untuk meng-counter trafficking dan menunjuk Menkokesra sebagai lembaga koordinasi.23 
Dari kerja keras yang dilakukan oleh semua pihak sejak dicanangkannya Rencana Aksi Nasional ini, akhirnya pada bulan April 2007 lalu Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dapat diundangkan sebagai bagian dari tujuan Rencana Aksi Nasional untuk memformulasi jenis tindak pidana ini, tindakan penghukuman atau pemberian sanksi serta mengembangkan aturan-aturan hukum dan kebijakan untuk menghapuskan trafficking. Perlu dipahami bahwa upaya formulasi dalam bentuk perundang-undangan ini hanya merupakan salah satu bagian kecil saja dari upaya penanggulangan perdagangan manusia yaitu melalui jalur penal. Masih ada upaya non-penal yang justru harus ditempatkan sebagai posisi strategis dalam rangka penanggulangan pencegahan tindak pidana perdagangan manusia.
    Walaupun undang-undang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang ini telah diundangkan, bukan berarti tugas telah selesai dan bukan berarti kita boleh berlega hati. Tugas baru akan dimulai untuk mewujudkan cita-cita dan spirit yang diamanatkan undang-undang ini karena cita-cita tersebut tidak akan tercapai tanpa kerja keras semua pihak.
   
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Kontemporer :

Arief, Barda Nawawi,  Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996.

Eddyono, Supriyadi Widodo, Position Paper Advokasi RUU KUHP, Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP, ELSAM, 2005.

Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Cetakan XII, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1982

Rosenberg, Ruth,   Trafficking of Women and Children in Indonesia,  Jakarta : ICMC dan Solidarity Center, tanpa tahun.
 
Sianturi, S.R., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta : Alumni AHM-PTHM, 1983


Dokumen :

Campaign against the Trafficking of Women and Girls,  dalam   http://www.hrw.org/about/projects/traffcamp/intro.html.

Dokumen, Sixth United Nation Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Report, Caracas-Venezuela,  1981

Dokumen, Seventh United Nation Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Milan 26 Agustus – 6 September 1985

Dokumen RUU KUHP 2005, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2005

Trafficking in Women and Children : The U.S. and International Response,  http://fpc.state.gov/documents/organization/9107.pdf

Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 15 / 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang Nomor 25 / 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang      No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

No comments: