Friday, May 2, 2008

PERDAGANGAN MANUSIA

UPAYA NON-PENAL DAN UPAYA PENAL
PENANGGULANGAN PERDAGANGAN MANUSIA  DI INDONESIA•
Oleh : Marcella Elwina S


ABSTRAK
Pada umumnya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh melalui upaya non-penal dan upaya penal. Demikian pula, upaya penanggulangan perdagangan manusia (human trafficking) dapat ditempuh melalui upaya non-penal dan upaya penal. Untuk penanggulangan praktek perdagangan manusia lewat jalur non-penal titik berat harus diberikan pada tindakan pencegahan, yang sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya perdagangan manusia. Penanggulangan kemiskinan, kebodohan, kebuta-hurufan serta secara khusus kultur atau budaya yang melanggengkan subordinasi terutama terhadap perempuan dan anak dalam masyarakat harus ditinggalkan. Peran masyarakat, pemerintah dan media juga harus ditingkatkan. Untuk upaya penal penanggulangan dilakukan dengan bantuan hukum pidana.

Kata Kunci : Penanggulangan Perdagangan Manusia, Upaya Penal – Non Penal  

A. Latar Belakang
    Perdagangan manusia (human trafficking) terutama perdagangan perempuan dan anak serta upaya penanggulangannya adalah salah satu issue yang saat ini banyak dibicarakan baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Karena sifatnya, perdagangan manusia oleh masyarakat internasional disebut sebagai bentuk perbudakan masa kini, yang mana skala perkembangan dan modus operandinya terus berkembang dari tahun ke tahun.  
Dalam sejarah, pada awalnya trafficking lebih banyak dilihat sebagai perpindahan perempuan secara paksa melewati batas negara untuk dipekerjakan dalam dunia prostitusi, sehingga pada awalnya konvensi internasional yang mengatur trafficking lebih memfokuskan diri pada hal ini. Saat ini trafficking sering didefinisikan sebagai perpindahan orang (terutama perempuan dan anak), dengan ataupun tanpa persetujuan mereka, dalam suatu negara ataupun lintas negara, untuk semua jenis kerja paksa, tidak hanya prostitusi dan kawin kontrak.  Dengan ini pengertian trafficking menjadi lebih luas dan dapat meliputi berbagai issue dan kekerasan.1
Salah satu perkembangan yang cukup menggembirakan dari pengaturan internasional mengenai trafficking adalah dengan disetujui dan ditandatanganinya the UN Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children pada tahun 2000, sebagai suplemen dari United Nations Conventions against Transnational Organized Crime. Sudah lebih dari 100 negara menandatangani protokol ini, namun untuk diberlakukan dibutuhkan ratifikasi oleh lebih dari 40 negara.2
Dalam Protokol tersebut --yang merupakan definisi internasional pertama dari trafficking, disebutkan bahwa :
‘Trafficking in persons' shall mean the recruitment, transportation, transfer, harboring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labor or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organ.

Pengertian atau definisi dari trafficking ini cukup berbeda dengan pengertian dalam Konvensi tahun 1949 yaitu Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others, yang memfokuskan diri hanya pada prostitusi.  Dengan pengertian yang demikian cukup banyak perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai trafficking3.


B. Korban dan Modus Oprerandi Perdagangan Manusia
Menurut perkiraan, walaupun sebagian korban adalah laki-laki, namun mayoritas korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak-anak4 yang memang kedudukan dan posisi tawarnya dalam masyarakat sangat rentan.  Laporan dari Departemen Luar Negeri pemerintah AS tahun 2004  memperkirakan bahwa lebih dari separuh korban yang diperdagangkan secara internasional diperjual-belikan untuk kegiatan eksploitasi seksual5.
Hampir 800.000 orang diperkirakan diperdagangkan setiap tahunnya di dunia, sehingga perdagangan manusia saat ini dianggap sebagai sumber keuntungan terbesar ketiga dari organized crime atau aktifitas kejahatan internasional yang menyangkut uang jutaan dolar setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan senjata ilegal (illegal weapon). 
Dari sekian banyak korban perdagangan manusia, korban terbanyak diperkirakan berasal dari Asia, yaitu sebanyak 225.000 dari Asia Tenggara dan selebihnya sekitar 150.000 dari Asia Utara. Sekitar 100.000 korban terutama untuk prostitusi dan industri seks berasal dari negara-negara bekas Uni Sovyet; 75.000 dari Eropa Tengah dan Eropa Timur; 100.000 dari Amerika Latin dan Kepulauan Karibia; dan sekitar 50.000-an korban berasal dari Afrika.  Kebanyakan dari korban ini diperdagangkan dan dikirim ke Asia, Timur Tengah, Eropa Barat dan Amerika Utara. 6
Untuk Indonesia, dalam Laporan Unicef tahun 1998 diperkirakan jumlah anak  yang  tereksploitasi  secara  seksual  (dilacurkan) mencapai  40-70ribu anak yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.  Buruknya penanganan serta penanggulangan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia pada mulanya menempatkan Indonesia dalam peringkat ketiga atau peringkat terendah penanganan perdagangan manusia. Peringkat ini diberikan selain karena jumlah korban yang sangat besar juga karena pemerintah dianggap belum menerapkan standar minimum serta belum melakukan usaha-usaha yang berarti dalam penanggulangan kejahatan ini. Di samping itu, dalam berbagai studi dan seminar dinyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu sumber perdagangan manusia, selain sebagai transit dan penerima perdagangan. Setidaknya 10 provinsi di Indonesia dinytakan sebagai daerah sumber, 16 propinsi sebagai daerah transit dan 12 propinsi sebagai penerima7.
Beberapa lembaga serta LSM internasional menyatakan bahwa sesungguhnya jumlah perdagangan manusia di dunia melebihi perkiraan tersebut. Perdagangan tersebut menurut prakiraan LSM internasional bahkan sampai melewati angka 2 juta manusia setiap tahunnya.  Hal ini disebabkan karena human trafficking adalah usaha atau perdagangan ilegal, sehingga data statistik serta dokumentasi yang ada kurang dapat dipakai sebagai pegangan. Selain itu biasanya human trafficking ini dilakukan dengan modus atau dibungkus dengan berbagai macam cara, sehingga ditemui berbagai kendala serta kesulitan untuk cara penanganannya.
Beberapa hal yang menyebabkan ketidak pastian besarnya jumlah perdagangan manusia juga disebabkan karena perbedaan persepsi mengenai definisi atau apa yang disebut dengan human trafficking.  Human trafficking atau trafficking in person bisa memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang. Banyak situasi di Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai trafficking, tetapi tidak dianggap sebagai trafficking.
Ada beberapa hal yang menyebabkan human trafficking di dunia setiap tahun jumlahnya semakin meningkat.  Secara umum dapat dikatakan bahwa kemiskinan, krisis ekonomi serta perang atau konflik bersenjata8 baik internasional maupun internasional adalah penyebab yang utama. Selain itu globalisasi juga mempertinggi tingkat mobilisasi masyarakat antar negara, baik secara legal maupun ilegal.  Dari sini kemudian beberapa organisasi kejahatan internasional9 mengambil kesempatan untuk mengambil keuntungan dari situasi  seperti ini.
Secara khusus, subordinasi terhadap perempuan dalam masyarakat, juga menyumbangkan angka terhadap meningkatnya jumlah human trafficking.  Hal ini disebabkan karena tingginya jumlah permintaan (demand) terhadap pekerja seks, industri seks, sex tourism, tenaga kerja murah serta pekerja domestik atau pembantu rumah tangga. Peran perempuan dan anak dalam keluarga dan masyarakat; minimnya pendidikan terutama pendidikan perempuan serta tingginya angka korupsi juga ditengarai sebagai salah satu sebab tingginya angka trafficking.  Selain itu minimnya pengaturan hukum dan buruknya law enforcement, hukum dan kebijakan yang bias jender, serta kurangnya political will dari masing-masing negara juga menyebabkan angka trafficking terus meningkat.
Beberapa negara bahkan tidak memiliki aturan hukum yang mengatur masalah trafficking ini. Dalam beberapa kasus, aparat yang seharusnya menangani masalah bahkan dapat disuap dan bekerjasama dengan para pedagang dengan cara memalsukan dokumen-dokumen penting.
Biasanya para pelaku trafficking mendapatkan serta mempengaruhi korban dengan beberapa cara.  Untuk beberapa kasus, para korban yang biasanya adalah perempuan ini didapatkan dengan cara melakukan penculikan dan pemindahan lintas negara secara paksa.  Penculikan terhadap anak terutama diperdagangkan untuk diadopsi dan prostitusi anak. 
Dalam kasus lain, korban dipengaruhi dengan cara diiming-imingi pekerjaan supaya mau berimigrasi secara sukarela dengan janji-janji palsu seperti bayaran atau gaji yang menarik sebagai model, penari, penyanyi, pembantu rumah tangga dan juga dijanjikan akan dicarikan jodoh.  Dengan menyediakan dokumen palsu dan transportasi sampai korban tiba di tempat tujuan, para pelaku trafficking ini kemudian meminta uang jasa yang besar dan bisanya kemudian menciptakan utang yang kemudian harus dibayar oleh korban seumur hidupnya ‘life-time debt bondage’. 
Dalam konteks Indonesia, human trafficking secara umum banyak terjadi terhadap buruh migran  --terutama terhadap buruh migran yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (unskilled domestic workers)--, dalam industri seks sebagai pekerja seks, buruh anak (kasus pekerja anak di Jermal, Sumatera Utara), dijadikan pengemis, pengedar obat-obatan terlarang, juga dijanjikan jodoh seperti fenomena yang banyak terjadi di Singkawang, Kalimantan Barat dengan pria asal Taiwan.  Memang untuk beberapa kasus, perkawinan berakhir bahagia. Namun dalam banyak kasus, para perempuan ini dilaporkan harus bekerja layaknya budak di rumah suami mereka dengan waktu yang sangat panjang. Ada pula yang kasus di mana istri dipaksa oleh suami bekerja dalam industri seks.10
Namun dalam banyak kasus pula, sebenarnya human trafficking ini tidak perlu melibatkan organisasi kejahatan internasional dan bahkan dapat dilakukan baik secara sadar atau tidak sadar oleh siapapun.  Dalam kasus buruh migran misalnya secara sadar atau tidak sadar trafficking in person ini bisa dilakukan baik oleh Perusahaan Jasa Tenaga Kerja; agen yang mencari jasa tenaga kerja; pemerintah; majikan; mucikari; bahkan anggota keluarga sendiri baik suami, orang tua atau anggota keluarga yang lain (paman, bibi, kakak, adik, tetangga dll).

C. Pengaturan  Internasional  terkait  Upaya  Penanggulangan  Perdagangan
    Manusia

    Mengingat sifatnya yang berbahaya, sebagai upaya perlindungan terhadap korban dan hak asasi manusia, sudah sejak lama masyarakat internasional memberikan perhatian bagi penanggulangan kejahatan ini. Berikut ini sebagian norma dan pengaturan internasional (baik yang secara langsung atau tidak langsung ditujukan terhadap penanggulangan perdagangan manusia) yang dikembangkan baik oleh United Nation maupun beberapa Inter-Governmental Organizations (IGOs) baik itu berupa deklarasi, resolusi, rekomendasi dan traktat yang sering disebut sebagai instrumen internasional, sebagai respon dari pelanggaran hak asasi yang terutama bertujuan untuk menghapuskan perdagangan perempuan dan anak atau ‘trafficking in women and children’, kerja paksa atau ‘forced labour’ dan praktek-praktek perbudakan ‘slavery-like practices’ sampai akhir tahun 200211. 
Pengaturan tersebut adalah :
1926 – Slavery Convention, League of Nations Convention;
1948 – United Nation Declaration of Human Rights (UDHR);
1949 - Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others;
1953 – Protocol amending the Slavery Convention;
1956 – Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery;
1957 – Convention on the Nationality of Married Women;
1962 – Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages;
1965 – Convention on the Elimination of all forms of Racial Discrimination;  diasesi oleh Indonesia 25 Juli 1999
1966 – International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);
1966 – International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR);
1979 – Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW); diratifikasi dengan UU 7/1984
1984 – Convention against Torture and other Cruel, Inhuman and Degrading Treatment or Punishment; diratifikasi oleh Indonesia 27 Nopember 1998
1985 – Declaration on the Human Rights of Individuals Who are not Nationals of the Country in which They Live;
1985 – Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power – Diadopsi oleh Majelis Umum dengan Resolusi 40/34
1989 – Conventions on the Rights of the Child (CRC); diratifikasi dengan Keputusan Presiden 36/1990
1990 – Convention on the Protection of the Roghts of all Migrant Workers and Members of their Families;
1992 – Recommendation No. 19 on Violence Against Women, the UN Committee to End Discrimination Against Women;
1993 – Vienna Declaration and Programme for Action;
1993 – Recommendation of the UN Commission on the Status of Women;
1994 – Appointment of UN Special Rapporteur on Violence Against Women;
1994 – Resolution 38/7 – Violence Against Woman Migrant Workers, Commission on the Status of Women;
1995 – Resolution 39/6 – Traffic in Women and Girls, Commission on the Status of Women;
1995 – The Fourth World Conference on Women (Beijing) and the Beijing Declaration and Platform for Action;
1996 – United Nations General Assembly (UNGA) Resolution 51/66 : Traffic in Women and Girls;
1998 – Rome Statute for international Criminal Court;
1999 – Optional Protocol to the Convention on the Elimination of Discrimination against Women;
2000 – Convention against Transnational Organized Crime; ditandatangani Indonesia Desember 2000
2000 – United nations General Assembly (UNGA) Resolution 55/67 : Traffic in Women and Girls;
2000 -  the UN Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplement to the United Nations Conventions against Transnational Organized Crime; ditandatangani Indonesia Desember 2000
2000 – Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography; diratifikasi Indonesia 24 September 2001
2002 – United Nation Recommended Principles and Guidelines on Human Rights and Human Trafficking;
2002 – United Nations General Assembly (UNGA) Resolution: Traffic in Women and Girls.

Selain  Instrumen Internasional yang sudah disebutkan di atas, Organisasi Buruh Internasional ILO juga membuat beberapa konvensi yang dapat digunakan untuk menanggulangi trafficking.  Beberapa konvensi ILO tersebut adalah :
1930 – Forced Labour Convention (No. 29); diratifikasi Indonesia tahun 1950;
1949 – The Protection of Wages Convention, 1949 (No. 95);
1949 – The Migration for Employment Convention (Revised), (No. 97);
1957 – The Abolition of Forced Labour Convention (No. 105); diratifikasi Indonesia tahun 1999
1958 – The Discrimination (Employment and Occupation) Convention (No. 111); diratifikasi Indonesia tahun 1999
1964 – Employment Policy Convention (No. 122);
1973 – Minimum Age for Employment Convention (No. 138); diratifikasi Indonesia dengan UU 20/1999;
1975 – The Migrant Workers (Supplementary Provisions) Convention (No. 143);
1989 – Indigenous and Tribal Peoples Convention (No. 169);
1997 – The Private Employment Agencies Convention (No. 181);
1998 – Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work;
1999 – Convention on the Worst Forms of Child Labour Convention (No. 182); diratifikasi Indonesia dengan UU 1/2000.

Dari apa yang terungkap di atas, pengaturan internasional baik langsung atau tidak langsung yang mengatur mengenai perdagangan manusia sudah sejak lama dibuat, bahkan sudah sejak tahun 1926. Hal ini dapat menunjukkan bahwa kasus perdagangan manusia dianggap oleh masyarakat internasional sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

D. Penanggulangan Perdagangan Manusia dengan Upaya Non-Penal dan Penal
1. Upaya Non-Penal
    Merujuk pada pendapat Hoefnagels bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara : 1) dengan penerapan hukum pidana; 2) dengan pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan 3) mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan, Barda Nawawi Arief secara garis besar kemudian membagi upaya tersebut menjadi dua yaitu lewat jalur penal (hukum pidana)  yang lebih menitikberatkan pada sifat ‘repressive’ yaitu sesudah kejahatan terjadi dan lewat jalur non-penal (bukan/di luar hukum pidana), yang lebih menitikberatkan adapa sifat ‘preventive’ (pencegahan/penangkalan) sebelum tindak pidana terjadi.12  Untuk menanggulangi praktek perdagangan perempuan dan anak, ketiganya harus secara bersama-sama dilakukan.
Untuk penanggulangan praktek perdagangan manusia lewat jalur non-penal titik berat harus diberikan pada tindakan pencegahan sehingga sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya praktek perdagangan manusia tersebut. Faktor-faktor kondusif ini antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang ada secara riil dalam masyarakat. Kemiskinan, kebodohan, praktek subordinasi terhadap perempuan dan anak dapat ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif yang menumbuhsuburkan perdagangan manusia (khususnya perempuan dan anak). 
Dapat dikatakan bahwa upaya non-penal menduduki posisi kunci dari keseluruhan upaya menanggulangi sebab-sebab perdagangan manusia, karena sesungguhnya strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime)13 dan merupakan ‘strategi pencegahan kejahatan yang mendasar’ (the basic crime prevention strategies)14, sehingga dalam resolusi No. 3 Konggres PBB ke-6 disebutkan bahwa semangat atau jiwa manusia dan usaha untuk memperkuat kembali keyakinan manusia untuk berbuat baik (the crime prevention strategies should be based on exalting the spirit of man and reinforcing his faith in his ability to do good) harus selalu ditingkatkan.
Sehubungan dengan upaya non-penal, untuk mencegah praktek perdagangan manusia atau human trafficking ini, maka masyarakat harus diberi pengertian serta pengetahuan mengenai upaya penanggulangan trafficking ini. Penanggulangan kemiskinan, kebodohan, kebuta-hurufan serta secara khusus kultur atau budaya yang melanggengkan subordinasi terutama terhadap perempuan dan anak dalam masyarakat juga harus mulai ditinggalkan. Penguatan nilai-nilai dalam keluarga dan masyarakat menjadi sangat penting guna mencegah upaya-upaya pihak tertentu mengambil kesempatan serta keuntungan dari kondisi melemahnya nilai-nilai dalam keluarga dan masyarakat.  Peran pemeritah serta media massa juga harus ditingkatkan guna meningkatkan pengetahuan serta pengertian masyarakat.  
2. Upaya Penal
Selain upaya non-penal yang sifatnya preventif, maka penanggulangan praktek perdagangan manusia dapat ditempuh melalui jalur hukum. Pengaturan hukum sendiri merupakan bagian dari politik kriminal atau penal policy.
Di muka telah disebutkan bahwa minimnya pengaturan hukum dan buruknya law enforcement, hukum dan kebijakan yang bias jender, serta kurangnya political will15 menyebabkan angka trafficking terus meningkat. Dengan demikian ketiga aspek tersebut seyogyanya harus secara integral ditindak-lanjuti secara bersama-sama.  
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dimaksudkan sebagai undang-undang ‘payung’ menyatakan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari praktek perdagangan manusia. Dalam  Pasal 20 diatur perlindungan terhadap perempuan dari praktek perdagangan manusia dan dalam Pasal 65 diatur perlindungan terhadap anak dari praktek perdagangan manusia.
Dalam prakteknya, aturan hukum yang secara umum diberlakukan untuk menanggulangi praktek perdagangan manusia sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah aturan yang ada dalam KUHP yaitu Pasal 297 dan Pasal 324 KUHP16.  Sejak dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2007, pengaturan tindak pidana perdagangan orang sebagaimana diatur dalam Pasal 297 dan 324 KUHP dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 dapat dikatakan sebagai suatu peningkatan perlindungan terhadap praktek perdagangan manusia, setidaknya dalam hal pengaturan17, karena sebelumnya pasal yang mengatur perdagangan manusia hanya Pasal 297 dan 324 KUHP (untuk anak perlindungan ini sudah secara khusus diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).  Dikatakan adanya peningkatan perlindungan setidaknya dalam hal pengaturan disebabkan pengaturan yang ada dalam Pasal 297 dan 324 KUHP dirasakan sudah tidak cukup memadai, selain dianggap memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban18. 
Untuk jelasnya dalam Pasal 297 KUHP disebutkan bahwa : perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.  Karena sangat umum dan sumir, maka banyak praktek yang dapat dikategorikan sebagai bentuk perdagangan manusia tidak dapat dijerat dengan pasal ini.
Selain pasal 297 KUHP yang secara khusus menyebutkan mengenai perdagangan/trafficking, beberapa pasal yang dapat dikategorikan sebagai trafficking atau beberapa pasal yang dapat digunakan untuk meng-counter trafficking dalam KUHP dimasukkan dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan.  Pasal-pasal tersebut adalah pasal 285, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295 (2) ke-1 dan ke-2, 296, 298 dan 506.  Pasal-pasal ini terutama mengatur kejahatan eksploitasi seks.
Selain itu pasal-pasal lain dalam KUHP yang dapat digunakan untuk meng-counter trafficking adalah Pasal-pasal yang diatur dalam Bab XVIII mengenai Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 330 (1) dan (2), 331, 332, 333 (1) s/d (4), 334 (1) s/d (3), 328 dan 329. Khusus untuk Perbudakan, pasal 324-327 KUHP telah dicabut.19
Selain pasal-pasal dalam KUHP dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, beberapa pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan dapat pula digunakan untuk menanggulangi trafficking. Sebagai contoh misalnya aturan mengenai larangan perdagangan organ tubuh20 untuk kepentingan komersial, UU Keimigrasian, UU Ketenagakerjaan, juga beberapa UU dan pengaturan internasional yang telah diratifikasi yang mengatur mengenai Pekerja Anak21 dsb.
Cukup menarik bahwa dalam UU No. 15 / 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo UU No. 25 / 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 2 ayat (1) butir (k) disebutkan aturan mengenai hasil tindak pidana pencucian uang yang diperoleh dari tindak pidana perdagangan manusia. Hal ini merupakan suatu kemajuan yang cukup berarti.
Secara khusus untuk anak diatur pula perlindungan terhadap praktek perdagangan anak dalam Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.  Bunyi Pasal 83 tersebut adalah sebagai berikut :
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Beberapa pengaturan tentang perdagangan manusia dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang  adalah sebagai berikut :
Mengenai pengertian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir 1: Perdagangan Orang adalah :
tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Selain itu dimasukkan pula pengertian ekploitasi dan ekploitasi seksual. Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 7 adalah:
tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan,  pemerasan, pemanfaatan fisik,  seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan  tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

Sedangkan pengertian ekploitasi seksual dalam Pasal 1 butir 8 adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
Ketiga pengertian ini kiranya dimasukkan dalam pasal kententuan umum sebagai upaya untuk meng-counter berbagai macam modus operandi yang biasa dilakukan pelaku tindak pidana perdagangan manusia. Pengertian yang dimasukkan ini terlihat merujuk dari pengertian sebagaimana dinyatakan dalam the UN Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children yang diterima pada tahun 2000 sebagai Supplement to the United Nations Conventions against Transnational Organized Crime yang ditandatangani oleh Indonesia pada Desember 2000.
Untuk pengaturan mengenai tindak pidana atau delik pidananya dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu 1) kategori tindak pidana perdagangan orang yang diatur dalam Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 18; dan 2) kategori tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang diatur dalam Bab II Pasal 19 sampai dengan Pasal 27.
Untuk tindak pidana perdagangan orang meliputi :
Pasal 2 tentang tindak pidana perdagangan orang (umum);
Pasal 3 tentang memasukkan orang ke dalam wilayah Indonesia untuk dieksploitasi baik di Indonesia maupun di negara lain;
Pasal 4 tentang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah Indonesia untuk dieksploitasi;
Pasal 5 tentang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu untuk tujuan eksploitasi;
Pasal 6 tentang pengiriman anak ke dalam atau ke luar Indonesia yang mengakibatkan anak tereksploitasi;
Pasal 7 mengatur pemberatan pidana apabila korban kemudian menderita luka berat dan mati;
Pasal 8 mengatur tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang serta pemberatannya;
Pasal 9 mengatur tentang usaha menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 10 mengatur tentang pembantuan dan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 11 mengatur tentang perencanaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 12 mengatur tentang penggunaan atau pemanfaatan korban tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 13 mengatur tentang korporasi sebagai pelaku tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 14 mengatur tentang panggilan terhadap korporasi;
Pasal 15 tentang pemberatan pidana apabila korporasi melakukan tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 16 mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi berikut pemberatannya;
Pasal 17 mengatur pemberatan apabila tindak pidana perdagangan orang dilakukan terhadap anak;
Pasal 18 mengatur tentang korban, di mana korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang tidak dipidana.

Untuk pengaturan kategori tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut :
Pasal 19 tentang pemalsuan dokumen atau identitas untuk memudahkan tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 20 tentang kesaksian palsu yang diberikan dalam sidang tindak pidana perdagangan orang;
Pasal 21 tentang penyerangan terhadap saksi atau petugas di persidangan perkara tindak pidana perdagangan orang dan pemberatannya;
Pasal 22 tentang mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses pemeriksaan terhadap tersangka, terdakwa atau saksi;
Pasal 23 tentang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dengan cara memberikan atau meminjamkan uang, barang atau harta kekayaan lainnya, menyediakan tempat tinggal, menyembunyikan pelaku atau informasi keberadaan pelaku;
Pasal 24 tentang pemberitahuan (pembeberan) identitas saksi atau korban yang harus dirahasiakan;
Pasal 25 tentang pidana pengganti berupa kurungan apabila terpidana tidak membayar denda;
Pasal 26 mengatur tentang tidak hapusnya penuntutan karena persetujuan korban; dan
Pasal 27 mengatur tentang hilangnya hak menagih utang dan hapusnya perjanjian, jika hak atau perjanjian tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban;

Selain pengaturan di atas, banyak perkembangan lain yang sangat berarti yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 dalam rangka pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Perkembangan tersebut misalnya diaturnya  ketentuan mengenai alat bukti elektronik, kewenangan menyadap telepon atau alat komunikasi lain apabila ada bukti permulaan terjadinya tindak pidana perdagangan orang, pemblokiran harta kekayaan pelaku yang disimpan oleh  penyedia jasa keuangan, penggunaan tele-conference bila saksi dan/atau korban tidak dapat hadir di persidangan, perlindungan terhadap saksi dan korban (sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban), hak atas restitusi dari pelaku, hak rehabilitasi dan reintegrasi sosial dari pemerintah, pencegahan dan penanganan, kerjasama internasional dan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang.
Perlu pula kiranya dipaparkan bahwa sebelum UU No. 21 Tahun 2007 diundangkan, perancang Konsep KUHP juga telah berupaya untuk memasukkan jenis tindak pidana ini dalam Konsep atau Rancangan Undang-Undang KUHP.  Tindak pidana tersebut terutama diatur dalam Bab XXI tentang Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan Orang.  Pasal-pasal tersebut adalah22 :
Pasal 544 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang;
Pasal 545 tentang Memasukkan Orang ke dalam Wilayah Indonesia untuk Diperdagangakan;
Pasal 546 tentang Mengeluarkan Orang dari Wilayah Indonesia untuk Diperdagangkan;
Pasal 547 tentang Perdagangan Orang yang Mengakibatkan Luka Berat atau Penyakit;
Pasal 548 tentang Perdagangan Orang oleh Kelompok yang Terorganisasi;
Pasal 549 Penganjuran Tanpa Hasil;
Pasal 550 tentang Persetubuhan dan Pencabulan terhadap Orang yang Diperdagangkan;
Pasal 551 tentang Pemalsuan Dokumen atau Identitas untuk Memudahkan Perdagangan Orang;
Pasal 552 tentang Penyalahgunaan Kekuasaan untuk Perdagangan Orang;
Pasal 553 tentang Menyembunyikan Orang yang Melakukan Perdagangan Orang;
Pasal 554, 555 tentang Perdagangan Orang di Kapal;
Pasal 556 tentang Pengangkutan Orang untuk Diperdagangkan dengan Menggunakan Kapal;
Pasal 557, 558,  mengatur Tindak Pidana bagi orang yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan, yang merencanakan, menyuruh lakukan, percobaan atau pembantuan untuk terjadinya TP Perdagangan Orang;
559 mengatur tindak pidana terhadap orang yang menyediakan atau mengumpulkan dana yang digunakan untuk melakukan perdagangan orang.

E. Penutup
    Di tingkat nasional, Rencana Aksi Nasional untuk menghapus perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak sebenarnya telah dicanangkan sejak tanggal 30 Desember 2002 melalui Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002.  Rencana Aksi ini merupakan dasar dan petunjuk bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan penghapusan praktek perdagangan perempuan dan anak. 
    Presiden dalam hal ini kemudian menunjuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan sebagai lembaga untuk membuat kebijakan atau ‘policy-making’ serta mengimplementasikan program untuk meng-counter trafficking dan menunjuk Menkokesra sebagai lembaga koordinasi.23 
Dari kerja keras yang dilakukan oleh semua pihak sejak dicanangkannya Rencana Aksi Nasional ini, akhirnya pada bulan April 2007 lalu Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dapat diundangkan sebagai bagian dari tujuan Rencana Aksi Nasional untuk memformulasi jenis tindak pidana ini, tindakan penghukuman atau pemberian sanksi serta mengembangkan aturan-aturan hukum dan kebijakan untuk menghapuskan trafficking. Perlu dipahami bahwa upaya formulasi dalam bentuk perundang-undangan ini hanya merupakan salah satu bagian kecil saja dari upaya penanggulangan perdagangan manusia yaitu melalui jalur penal. Masih ada upaya non-penal yang justru harus ditempatkan sebagai posisi strategis dalam rangka penanggulangan pencegahan tindak pidana perdagangan manusia.
    Walaupun undang-undang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang ini telah diundangkan, bukan berarti tugas telah selesai dan bukan berarti kita boleh berlega hati. Tugas baru akan dimulai untuk mewujudkan cita-cita dan spirit yang diamanatkan undang-undang ini karena cita-cita tersebut tidak akan tercapai tanpa kerja keras semua pihak.
   
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Kontemporer :

Arief, Barda Nawawi,  Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996.

Eddyono, Supriyadi Widodo, Position Paper Advokasi RUU KUHP, Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP, ELSAM, 2005.

Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Cetakan XII, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1982

Rosenberg, Ruth,   Trafficking of Women and Children in Indonesia,  Jakarta : ICMC dan Solidarity Center, tanpa tahun.
 
Sianturi, S.R., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta : Alumni AHM-PTHM, 1983


Dokumen :

Campaign against the Trafficking of Women and Girls,  dalam   http://www.hrw.org/about/projects/traffcamp/intro.html.

Dokumen, Sixth United Nation Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Report, Caracas-Venezuela,  1981

Dokumen, Seventh United Nation Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Milan 26 Agustus – 6 September 1985

Dokumen RUU KUHP 2005, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2005

Trafficking in Women and Children : The U.S. and International Response,  http://fpc.state.gov/documents/organization/9107.pdf

Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 15 / 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang Nomor 25 / 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang      No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

BULLYING

ASPEK KRIMINOLOGIS DAN HUKUM
PERILAKU PEMALAKAN ‘BULLYING’  DI SEKOLAH
DAN UPAYA MENGATASINYA•

Oleh : Marcella Elwina S.••


Pada saat panitia meminta saya untuk menjadi salah satu nara sumber dalam diskusi dengan judul seperti di atas, pikiran saya sempat melayang jauh. Saya terbayang anak-anak yang tidak beruntung yang harus mendiami penjara anak karena perilaku mereka yang dianggap ‘menyimpang’ dan akhirnya memaksa mereka harus terlibat dengan sistem peradilan pidana (polisi, jaksa, hakim, lembaga pengadilan dan LP anak). Mungkin yang termasuk dalam anak kategori ini adalah anak yang melakukan pemalakan ‘bullying’  terhadap teman-temannya di sekolah bila perbuatan ini sampai dilaporkan pada aparat penegak hukum atau polisi.

Saya diminta panitia untuk memberikan kajian kriminologis dan kajian hukum (pidana) mengenai pemalakan ‘bullying’  yang dilakukan anak-anak di sekolah. Untuk itu pertama-tama perlu saya sampaikan bahwa kajian hukum dan kajian kriminologis mengenai ‘kejahatan’ sedikit berbeda. Bila ‘kejahatan’ dikaji dengan pendekatan hukum (pidana), maka bisa dipastikan pembicaraan akan menyangkut pasal-pasal dalam aturan-aturan hukum yang tertulis secara in-abstracto atau secara abstrak, misalnya KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Bila ‘kejahatan’ dikaji dengan pendekatan kriminologis, maka kajian akan lebih dekat pada ‘perilaku menyimpang’ yang secara in-concreto ada dalam masyarakat, terlepas apakah ‘perilaku’ tersebut diancam hukuman atau tidak dalam hukum. Dengan demikian pembahasan lebih ke arah kajian kejahatan sebagai fenomena sosial.

Kedua kajian ini cukup berbeda secara tajam. Kajian hukum akan membawa kita pada masalah kriminalisasi, masalah pertanggung-jawaban pidana dan masalah pemidanaan atau hukuman. Selain itu harus dibicarakan pula masalah bekerjanya hukum lewat aparat-aparat hukum seperti polisi, jaksa, hakim dsb. Biasanya masalah-masalah seperti ini disajikan oleh para sarjana hukum. Untuk yang kedua yaitu kajian kriminologis akan membawa kita pada masalah siapa itu ‘penjahat’, sebab-sebab kejahatan, akibat-akibat kejahatan, cara mengatasi kejahatan dsb. Bagian ini biasanya dibicarakan oleh para kriminolog. Sulitnya, dalam diskusi ini saya diminta untuk membahas kedua kajian tersebut dalam satu pertemuan, sehingga ada baiknya bila kajian dibahas secara singkat satu persatu sebelum secara khusus kita membahas mengenai pemalakan (bullying) yang merupakan salah satu contoh ‘perilaku menyimpang’ atau perilaku delinkuensi anak di sekolah dan cara mengatasinya.

Tentu saja untuk waktu yang singkat tidak mungkin membicarakan hal ini, sehingga mudah-mudahan paper ini dapat berfungsi untuk memberikan gambar yang lebih utuh dibandingkan dengan apa yang akan dibicarakan selama diskusi.

KAJIAN KRIMINOLOGIS MENGENAI SEBAB-SEBAB KEJAHATAN1

Obyek studi kriminologi terutama berkisar pada apa itu kejahatan, pelaku kejahatan dan reaksi masyarakat terhadap kejahatan.  Apa atau mengapa seorang melakukan kejahatan? Dalam konteks pembicaraan kita mengenai pemalakan (bullying) yang dilakukan oleh anak di sekolah,  teori-teori yang ada di bawah ini mungkin banyak yang dapat dirujuk. Mana teori yang benar, tentu saja harus disesuaikan dengan konteks perbuatan tersebut. Tidak ada teori yang secara absolut dapat digunakan atau ditunjuk untuk menjelaskan fenomena ‘pemalakan’ ini, karena kausa atau sebab-sebab kejahatan ‘pemalakan’ ini bisa terjadi tidak hanya karena satu faktor melainkan banyak faktor.

Pembahasan mengenai ‘sebab-sebab kejahatan’ dalam kriminologi selalu akan merujuk pada aliran-aliran pemikiran atau paradigma dalam kriminologi, yaitu suatu perspektif yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat, menafsirkan, menanggapi dan menjelaskan fenomena kejahatan.  Hal ini disebabkan karena pemahaman kita terhadap dunia sosial dipengaruhi oleh cara kita menafsirkan peristiwa-peristiwa yang kita alami/lihat. Demikian pula cara pandang yang dianut oleh seorang kriminolog, akan mempengaruhi wujud penjelasan maupun teori yang dihasilkan dalam menafsirkan dan menjelaskan fenomena kejahatan.

Kriminologi Klasik

Kriminologi klasik mendasarkan pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok. Intelegensi membuat manusia mampu mengarahkan diri sendiri dan mampu memahami dirinya dan bertindak untuk mencapai kepentingan dan kehendaknya (doctrine free will). Kunci kemajuan menurut pemikiran ini adalah kemampuan kecerdasan atau akal yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu mengontrol dirinya. Dengan  demikian kejahatan dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari individu dalam menilai untung ruginya melakukan kejahatan.  Dalam hubungan ini, tugas kriminologi adalah untuk membuat pola dan menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan terjadinya kejahatan.


Adakah kemudian hubungan antara pemalakan (bullying) dengan teori di atas? Bila mengikuti pandangan di atas, maka terhadap anak yang melakukan pemalakan harus diberi hukuman yang seberat-beratnya, sehingga kerugian yang mereka tanggung sebagai akibat melakukan pemalakan lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh. Mereka akan berpikir dua kali apabila hendak melakukan hal ini.  Timbul pertanyaan, langkah inikah yang ingin dilakukan untuk mengatasi pemalakan (bullying) di sekolah?

Kriminologi Positive

Kriminologi positive bertolak dari pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik berupa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti manusia bukan mahkluk yang bebas untuk menuruti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi mahkluk yang dibatasi atau ditentukan perangkat biologik dan situasi kulturalnya. Dengan demikian terdapat 2 pandangan yang berbeda yaitu 1) determinisme biologik yang menganggap bahwa organisasi sosial berkembang sebagai hasil individu dan diterima sebagai pencerminan umum dari warisan biologis; dan 2) determinisme kultural yang menganggap bahwa perilaku manusia dalam segala aspeknya selau berkaitan dan mencerminkan dunia sosio-kultural yang melingkupinya. Dengan ini maka tugas kriminologi adalah menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi ilmiah terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial dan kultural2.

Banyak rujukan yang dapat diambil bila kita mengikuti jalan pemikiran teori-teori kriminologi positive. Diantaranya perilaku pemalakan yang dilakukan oleh anak adalah terdorong oleh apa yang ada dalam diri anak (dalam hal ini tergantung pribadi anak) juga karena pengaruh lingkungan. Anak karena sifat-sifat yang dibawa dan karena proses belajar dalam lingkungan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat. Kebodohan juga sering dirujuk sebagai sebab-sebab kejahatan. Di sekolah, biasanya guru akan lebih mudah marah atau memberi cap ‘nakal’ pada anak yang bodoh.

Sebab Kejahatan dari Faktor Sosio-Kultural

Usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari faktor sosio-kultural sangat banyak dipelajari, terutama dipelopori oleh mazhab lingkungan di Perancis, yang merupakan reaksi terhadap ajaran Lombroso. Oleh Mannheim teori ini dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu teori yang beroriebtasi pada kelas sosial dan teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial.

Teori yang tidak berorientasi pada kelas misalnya teori ekologis, teori konflik kebudayaan, teori faktor ekonomi dan teori differential association.  Teori yang berorientasi pada kelas sosial terutama teori anomie dan teori sub budaya delinkuen.

Teori ekologi yang berkembang terutama dihubungkan dengan aspek-aspek tertentu dari lingkungan manusia atau sosial. Kepadatan penduduk; mobilitas penduduk dan migrasi; hubungan desa dan kota (urbanisasi) di mana anonimitas dalam kehidupan masyarakat perkotaan seringkali dianggap mempengaruhi seseorang terhadap kontrol diri; daerah kejahatan dan perumahan dsb. 
Teori konflik kebudayaan terutama menyoroti benturan nilai kultural, misalnya perbedaan cara hidup dan nilai sosial yang melingkupi anggota masyarakat terutama di perkotaan yang sangat heterogen.
Teori faktor ekonomi adalah teori yang sangat sering ditunjuk apabila terjadi kejahatan. Kemiskinan misalnya selalu dirujuk oleh ahli sebagai penyebab kejahatan. Harus dipahami bahwa tidak semua orang miskin kemudian memilih kejahatan sebagai respon atas kemiskinannya. Bagaimana dengan orang kaya yang sudah berharta sangat melimpah, tetapi tepa melakukan korupsi?
Teori differential association diajukan oleh E. Sutherland dengan asumsi bahwa perilaku kejahatan adalah identik atau sama dengan perilaku non kejahatan, keduanya adalah sesuatu yang dipelajari. Pendekatan Sutherland ini lebih pada pendekatan proses. Perilaku ini dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi dan yang terpenting proses belajar terjadi dalam kelompok personal yang intim. Proses belajar dapat bervariasi dalam frekuensinya, lamanya, prioritasnya dan intensitasnya di mana yang dipelajari meliputi teknik melakukan kejahatan, motif-motif tertentu, dorongan, alasan pembenar dan sikap.

Untuk teori yang beorientasi pada kelas sosial :
teori anomie yang diajukan oleh Robert Merton. Anomie sendiri secara harfiah berarti tanpa norma.  Merton mendasarkan analisanya pada bahaya-bahaya yang melekat dalam setiap bentuk ketidaksesuaian antara kebutuhan manusia dengan cara-cara yang dapat digunakan untuk memenuhinya. Sebagai contoh : mau jadi sarjana beli ijasah, mau kaya korupsi, mau jajan tidak punya uang memalak teman.  Dalam teorinya Merton melihat bahwa tahap-tahap tertentu dari struktur sosial akan meningkatkan keadaan di mana pelanggaran terhadap aturan-aturan masyarakat akan menghasilkan tanggapan yang ‘normal’.  Sebagai contoh : terima suap sudah lazim, menyontek daripada dimarahi orang tua karena nilai jelek, tidak apa-apa.         
Teori sub budaya delinkuen diajukan oleh A.K. Cohen. Teori ini mencoba mencari sebab-sebab kenakalan remaja dari perbedaan kelas di antara anak-anak. Cohen menunjukkan adanya moralitas dan nilai-nilai yang berbeda di antara keluarga kelas menengah dengan kelas pekerja seperti ambisi, tanggung jawab pribadi, pengendalian terhadap tindakan agresif, penghargaan terhadap hak milik, kepercayaan (beliefs), nilai-nilai dan aturan tingkah laku dsb. Dengan terjadinya pergaulan antara dua kelompok yang dibedakan oleh kelas tersebut, dapat terjadi konflik dan kebingungan terutama terhadap anak-anak kelas pekerja sehingga menimbulkan kenakalan. Cloward dan Ohlin dengan merujuk pada teori yang diajukan Merton menyatakan bahwa timbulnya kenakalan remaja lebih ditentukan oleh perbedaan-perbedaan kelas yang kemudian menimbulkan hambatan-hambatan bagi masyarakat yang berbeda kelas misalnya perbedaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi si kaya dan si miskin, penghargaan terhadap aspirasi dsb. Di sekolah sebagai contoh misalnya guru lebih sungkan menegur atau menghukum murid yang berasal dari keluarga kaya. Ini menimbulkan rasa iri pada sebagian teman-temannya.


Dari sekian banyak teori, teori yang mungkin paling relevan untuk menjawab mengapa anak melakukan pemalakan (bullying) adalah teori yang mencari sebab kejahatan dari aspek sosio-kultural. Lingkungan rumah, sekolah, lingkungan tempat anak bermain, peran orang tua, peran guru juga peran teman adalah faktor dominan untuk membentuk karakter anak.

W.A. Gerungan juga mengemukakan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan sosial. Menurutnya manusia senantiasa hidup dalam suatu lingkungan, baik fisik, psikis maupun spiritual yang di dalamnya ada hubungan timbal balik sejak manusia dilahirkan. Dalam hubungan ini tentu saja terjadi hubungan timbal balik, saling mempengaruhi. Pengaruh kelompok sosial, terutama keluarga (juga sekolah dan teman: dari penulis) menurutnya cukup berpengaruh terhadap perkembangan sosial seseorang. Pengalaman ini akan turut menentukan cara-cara tingkah laku seseorang terhadap orang lain.3

Kriminologi Kritis

Setelah tahun 1960-an, kriminologi berkembang pesat. Tumbuh apa yang dinamakan new criminology sebagai pengaruh aliran kriminologi kritis sebagai akibat perkembangan sosial politik di dunia. Gerakan tuntutan demokrasi, tuntutan persamaan hak bagi orang berkulit hitam, tuntutan emansipasi wanita dsb. Untuk teori yang mencari sebab-sebab kejahatan muncullah apa yang dinamakan labeling theory. Tahun 1962, Horward Becker dalam bukunya ‘Outsiders’ mengajukan teori labeling yang menyatakan bahwa kejahatan adalah hal yang problematik dan kejahatan merupakan hasil dari batasan masyarakat mengenai sebuah tingkah laku (kejahatan merupakan konstruksi sosial). Kejahatan adalah perbuatan yang dinyatakan oleh masyarakat sebagai kejahatan, dan penjahat adalah mereka yang diberi ‘cap’ atau ‘label’ demikian oleh masyarakat. Dengan demikian kejahatan bukanlah kualitas perbuatan, melainkan lahir sebagai akibat diterapkannya peraturan dan sanksi oleh masyarakat bagi yang mereka yang melanggar. Dengan demikian teori labeling telah mengubah konteks studi kriminologi dari mempelajari penjahat kepada proses terjadinya kejahatan/penjahat. Menurut Matza, teori labelling ini mirip dengan apa yang dalam psikologi sosial disebut teori ‘symbolic interactionist’. Teori lain yang berkembang adalah teori konflik yang mempertanyakan hubungan antara kekuasaan dalam pembuatan undang-undang dengan kejahatan. Secara umum dikatakan bahwa mereka yang memiliki kekuasaan, memiliki kesempatan lebih besar untuk menunjuk perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingannya.


Bila mengikuti pemikiran aliran kriminologi kritis, maka hal yang perlu dipertanyakan adalah konsep atau arti pemalakan (bullying). Dalam hal ini apakah ada konsep yang sama mengenai arti pemalakan antara masyarakat (guru, orang tua, korban) dengan pelaku pemalakan. Mungkin dari anggapan pelaku,  pemalakan bukanlah sesuatu yang salah, karena pemikiran yang mereka bawa sendiri, namun direaksi sebagai sesuatu yang salah oleh guru, orang tua dan korban.  Bukankah kita ini hidup dalam belantara sistem nilai?

KAJIAN HUKUM MENGENAI PERILAKU ‘PEMALAKAN’ OLEH ANAK

Pemalakan bukanlah istilah atau terminologi hukum. Pemalakan adalah istilah kriminologis. Istilah dalam hukum (pidana) untuk pemalakan (bullying) secara sempit dapat dirujuk dalam Pasal 368 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat : KUHP), yaitu pemerasan sebagaimana diatur dalam Bab XXIII tentang Pemerasan dan Pengancaman. Untuk jelasnya akan saya kutipkan isi dari pasal ini.

Pasal 368 (1) KUHP : Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau kepunyaan orang lain, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun4.

Walaupun berlatar belakang hukum, ada baiknya persoalan ‘pemalakan’ tidak diajukan atau tidak diproses dengan menggunakan hukum pidana yang sifatnya represif, terlebih bila dilakukan oleh anak (sekolah). Hal ini lebih disebabkan karena alasan bahwa ‘harga’ yang harus dibayar untuk itu sangatlah mahal. Bila hukum dirujuk untuk menyelesaikan persoalan ‘pemalakan’, tragedi Raju-2 bisa saja terjadi. Singkatnya sebaiknya kita menghindari campur tangan sistem peradilan (anak).

Bila merujuk pada pendapat GP. Hoefnagels, secara umum upaya penanggulangan kejahatan sebenarnya dapat ditempuh dengan 3 cara yaitu dengan penerapan hukum pidana; dengan pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan.5 Cara yang pertama adalah lewat jalur penal yang sifatnya represif sedangkan cara kedua dan ketiga adalah lewat jalur non-penal yang sifatnya preventif.

Melalui jalur non-penal karena lebih bersifat tindakan pencegahan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.  Faktor-faktor kondusif ini antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.

Dalam rangka ini, maka strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada usaha membangkitkan semangat atau jiwa manusia dan usaha untuk memperkuat kembali keyakinan manusia untuk berbuat baik (the crime prevention strategies should be based on exalting the spirit of man and reinforcing his faith in his ability to do good). Untuk itu harus diperkuat kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), kesadaran atau solidaritas kolektif (collective solidarity) sebagai bentuk sarana kontrol sosial.

Hukum pidana adalah hukum yang seharusnya menjadi ‘the last resort’ atau ‘ultimum remedium’ atau upaya terakhir yang ditempuh, sehingga apabila masih ada cara-cara atau upaya-upaya lain yang mempan atau dapat digunakan jangan menggunakan hukum pidana. Hukum pidana karena sifatnya yang represif juga hanya berfungsi sebagai ‘pengobatan simptomatik’ hanya mengobati gejala dan tidak menyentuh akar permasalahan. Akar permasalahannya apa, itu yang harus diselesaikan! Dengan kata lain ada baiknya kejahatan ditanggulangi dengan pendekatan preventif bukan dengan pendekatan represif. Bukankah ada adagium yang menyatakan bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati?

Persoalan lain adalah menyangkut proses peradilan pidana (anak) yang merupakan sesuatu yang jauh dari menyenangkan. Proses pemeriksaan yang panjang,  melelahkan, menyita waktu, uang dan tenaga, memberikan trauma baik terhadap pelaku maupun korban dan pada saatnya harus berakhir di penjara atau LP (anak).

Dalam kasus pemalakan (bullying), apabila pelaku (anak) dilaporkan pada aparat penegak hukum , maka ia bisa kehilangan seluruh masa depannya karena tidak dapat lagi bersekolah. Bila terbukti dan dihukum penjara misalnya, ketika keluar bisa jadi tidak ada lagi sekolah yang mau menerimanya, walaupun terhadap perbuatannya telah diberikan hukuman (penjara). Selain itu dengan track-record eks narapidana (anak), sulit baginya untuk memperoleh pekerjaan seumur hidupnya. Belum lagi efek lain misalnya ‘proses belajar’ menjadi penjahat sungguhan yang diperoleh di penjara. Ini yang sering disebut-sebut sebagai efek negatif pidana penjara atau pidana penjara pendek.

Hal ini juga sejalan dengan apa yang diatur dalam United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (the Riyadh Guidelines)6 yang sedikitnya mengetengahkan beberapa prinsip dasar yang harus dijadikan landasan langkah-langkah pencegahan terhadap gejala delinkuensi anak. Prinsip tersebut adalah bahwa pencegahan delinkuensi anak adalah bagian terpenting pencegahan kejahatan anak dalam masyarakat, pendayagunaan sarana perundang-undangan, aktivitas sosial yang bermanfaat, melakukan pendekatan manusiawi terhadap segala aspek kehidupan masyarakat terutama kehidupan anak, dilakukan usaha untuk menjamin berlangsungnya perkembangan usia muda yang harmonis melalui pemberian dukungan perkembangan personalitas anak sejak usia dini. Prinsip penting yang mendasari pemikiran ini adalah bahwa anak/remaja yang melakukan pelanggaran ringan tidak harus direaksi dengan peng-kriminalisasian atau penghukuman atas perbuatannya tersebut.

Untuk itu, apabila kasus pemalakan (bullying) ini terjadi, harus diupayakan terlebih dahulu apa yang dinamakan asas DIVERSI (pengalihan) yang adalah suatu mekanisme yang memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial, karena keterlibatan anak dalam proses peradilan akan menimbulkan stigmatisasi. Singkat kata, apabila pemalakan (bullying) masih dapat ditangani baik oleh guru maupun orang tua atau diantara anak sendiri, hindari membawa anak terlibat dalam proses peradilan pidana.

CARA MENGATASI PEMALAKAN (BULLYING) DI SEKOLAH

Dalam studinya terhadap kenakalan remaja, W.I. Thomas  menyimpulkan bahwa frustrasi merupakan sumber utama dari timbulnya kenakalan remaja. Selanjutnya ia mengatakan bahwa sebab-sebab timbulnya frustrasi tersebut, terutama disebabkan karena tidak dipenuhinya empat kebutuhan pokok (four wishes) remaja, yaitu :
kebutuhan untuk memperoleh rasa aman
Kebutuhan untuk memperoleh pengalaman baru sebagai usaha untuk memenuhi dorongan ingin tahu, petualangan, sensasi.
Kebutuhan untuk ditanggapi sebagai pemenuhan dorongan cinta, persahabatan.
Kebutuhan untuk memperoleh pengakuan yang berupa status atau prestise7.

Mungkinkah pemalakan yang dilakukan oleh anak-anak ini disebabkan karena tidak terpenuhinya keempat kebutuhan dasar tersebut? Dengan merujuk pada teori kriminologi kritis, label ‘nakal’ mungkin diberikan oleh guru, namun bagi mereka hal ini mungkin bisa dianggap sebagai cara  memperoleh pengalaman kebutuhan memperoleh pengakuan atau status dan sebagainya.

Selain itu masa remaja dikenal sebagai salah satu periode dalam rentang kehidupan yang memiliki beberapa keunikan tersendiri. Keunikan ini menurut Hendriati Agustiani bersumber pada kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada masa remaja terjadi perubahan fisik, emosionalitas, kognitif dan sosial. Perubahan ini membawa dampak pula terhadap perilaku remaja8.

Dengan demikian, jawaban mengapa anak-anak ini melakukan pemalakan harus disesuaikan dengan konteks pada saat mereka melakukan hal tersebut. Bila sudah memahami konteks tersebut, maka jawaban bagaimana cara mengatasinya mungkin dapat ditemukan. Secara praktis, guru pasti lebih mengerti cara mengatasinya, baik mengatasi pelaku maupun korban pemalakan (bullying) karena mereka yang mengenal anak didik mereka dan terlibat langsung dalam hal ini.

*****


DAFTAR RUJUKAN

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996

Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan : Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja, Bandung : Refika Aditama, 2006

I.S. Susanto, Kriminologi, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1995

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Bumi Aksara, 1994

Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency : Pemahaman dan Penanggulangannya, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997

W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung : Refika Aditama, 2004

Thursday, May 1, 2008

HAM

BEBERAPA PRINSIP DAN PENGATURAN
PERTANGGUNG-JAWABAN KOMANDO DALAM KASUS PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA•
Oleh : Marcella Elwina S.


ABSTRAK

Paper ini berusaha mengungkapkan beberapa prinsip serta pengaturan mengenai pertanggungjawaban komando (command responsibility) terhadap pelaku pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang telah diatur baik dalam beberapa instrumen internasional maupun dalam hukum positif di Indonesia. Pertanggung-jawaban komando sendiri diatur baik dalam hukum HAM Internasional atau Hukum Positif di Indonesia dalam rangka mencegah terjadinya impunitas atau pembiaran terhadap para pemimpin baik politik maupun militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat HAM seperti kejahatan genocide, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang yang dianggap sebagai musuh umat manusia (hostis humanis generis), yang karenanya menimbulkan suatu obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional secara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelakunya. Di era global, di mana laju informasi sangat mudah diperoleh, mata dunia internasional terus tertuju melihat keseriusan Indonesia untuk mengadili dan menghukum pelaku kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Oleh karenanya harus ada kesungguhan dan keseriusan dari peradilan untuk mengadili para pelaku pelanggaran berat HAM di Indonesia baik yang terjadi pada masa lampau, masa kini serta masa datang.


A. PENDAHULUAN

Hak Asasi Manusia (human rights) adalah hak-hak yang melekat secara inherent pada setiap manusia oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi ataupun dirampas oleh siapapun. Tanpa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya maka manusia akan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Dengan demikian hak asasi manusia wajib dilindungi baik oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Oleh masyarakat dunia, perumusan serta pengakuan terhadap hak asasi manusia ini telah diperjuangkan dalam kurun waktu yang sangat panjang, bahkan sampai saat ini. Namun demikian dapat dikatakan bahwa titik kulminasi perjuangan umat manusia dalam memperjuangkan HAM adalah dengan lahirnya The Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 setelah menyaksikan kekejaman perang masa lalu.
Di Indonesia masalah HAM sebenarnya telah mengakar budaya secara kuat karena negara Republik Indonesia terbentuk sebagai reaksi terhadap pelanggaran HAM yang absolut berupa penjajahan selama kurun waktu lebih dari 350 tahun. Sebagai bukti, beberapa permasalahan dasar mengenai hak asasi manusia misalnya sejak awal telah dimasukkan oleh para pendiri bangsa dalam Undang-undang Dasar 1945. Hal ini diperkuat dengan amandemen terhadap UUD 1945 dalam beberapa tahun terakhir ini.
Dalam sejarah, bangsa Indonesia mencatat pula berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku diskriminatif baik yang bersifat vertikal yang dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara maupun sebaliknya ataupun yang bersifat horizontal yaitu antar warga negara sendiri. Banyak pula diantaranya yang masuk dalam pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights).
Perkembangan lain mengenai promosi dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia adalah dengan diundangkannya Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedua undang-undang sendiri lahir sebagai akibat keruntuhan rezim Orde Baru, serta untuk menjawab tantangan zaman yaitu melakukan adaptasi dengan nilai-nilai universal atau nilai-nilai internasional yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa1.
Sejak diundangkannya dua undang-undang tersebut, terminologi-terminologi seperti ‘pelanggaran berat hak asasi manusia’ (gross violation of human rights), genocide, crime against humanity, command responsibility telah masuk secara formal menjadi bagian dari leksikon hukum di Indonesia. Kedua UU ini sendiri dapat dianggap sebagai tonggak pencapaian reformasi yang penting yang bukan saja telah dan diharapkan akan menyeret para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia (yang kebanyakan state officials) ke depan pengadilan, tetapi juga menubuhkan (imposing)2 konsep-konsep atau terminologi hukum yang belum dikenal dalam tubuh hukum positif di Indonesia seperti genocide, crime against humanity, command responsibility, beserta beragam konsep turunan yang terkandung di dalamnya.
Secara internasional, khusus untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, oleh masyarakat internasional telah disetujui di Roma sebuah instrumen yang dapat mengadili pelaku atau individu-individu pelanggar HAM berat yaitu International Criminal Court yang sering disebut sebagai Rome Statute pada tahun 1998. Norma-norma di dalam Rome Statute ini merupakan kodifikasi dari hukum (pidana) internasional. Praktek-praktek internasional menunjukan pula bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan pelanggaran terhadap ius cogens baik bila dilihat dalam hukum kebiasaan internasional (international customary law), menurut beberapa konvensi atau instrumen internasional serta menurut prisip-prinsip hukum umum (general principles of law recognized by civilized nations).
Mengingat bahwa pelanggaran berat HAM adalah kejahatan yang menimbulkan ketegangan dan sangat meresahkan masyarakat dan bangsa-bangsa dan merupakan kejahatan yang sangat serius, maka pelanggaran berat atau kejahatan HAM ini kemudian dianggap menjadi musuh umat manusia (hostis humanis generis)3. Dengan demikian, kejahatan semacam ini menimbulkan obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional secara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelakunya. Oleh karena itu, untuk kejahatan terhadap kemanusiaan berlaku prinsip yurisdiksi universal. Setiap negara dapat mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di manapun dan dilakukan oleh warga negara lain.

B. PENGERTIAN DAN PENGATURAN PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA

Sebagai bagian dari hukum nasional, hak asasi manusia biasanya diatur dalam bidang hukum publik yang mengatur hubungan antara negara dengan masyarakat atau warga masyarakatnya. Dengan melihat isi dari UU HAM dan UU Pengadilan HAM, kita dapat membedakan perlindungan hak asasi manusia dengan perlindungan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan UU ini pelanggaran yang dapat diselesaikan oleh mekanisme hukum lainnya, seperti misalnya pelanggaran hukum pidana atau pelanggaran hukum tata usaha negara tidak akan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.
Pembedaan tersebut, antara lain dapat dilihat dari definisi pelanggaran HAM. Disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang berat diatur dalam Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 yaitu pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).
Sebagai kelanjutan dan amanat UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun, dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang bertitik tolak dari perkembangan hukum, kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, dalam rangka menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia.
Dalam Penjelasan Umum UU Pengadilan HAM dinyatakan bahwa Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan extra ordinary crimes dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Berbeda dengan pengertian pelanggaran HAM berat dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pengertian pelanggaran HAM berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 7 meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.4
Ada perbedaan pengaturan jenis pelanggaran HAM berat dalam Statuta Roma maupun UU Pengadilan HAM. Dalam UU Pengadilan HAM, pelanggaran HAM berat hanya meliputi 2 jenis kejahatan yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma ada 4 (empat). Keempat jenis kejahatan tersebut meliputi kejahatan genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (agression crimes) yang dianggap sebagai the most serious crimes of international concern (kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional).5
Selanjutnya untuk tidak membiarkan paper ini berbicara terlalu luas, paper ini akan memfokuskan diri pada pemaparan mengenai salah satu konsep pertanggungjawaban terhadap pelaku pelanggaran berat HAM yaitu pertanggung-jawaban komando (command responsibility). Konsep atau pengaturan mengenai ‘command responsibility’ ini sendiri dimasukkan dan diatur baik dalam hukum HAM internasional atau Hukum Positif di Indonesia dalam rangka mencegah terjadinya impunitas atau pembiaran terhadap para pemimpin baik politik maupun militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat HAM seperti kejahatan genocide, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang.

C. SEJARAH PENGATURAN DAN PENGERTIAN PERTANGGUNG-JAWABAN KOMANDO

C.1. Sejarah Pengaturan Pertanggungjawaban Komando

Diskursus mengenai doktrin ‘pertanggungjawaban komando’ dalam hukum (terutama hukum pidana) dan dalam kejahatan HAM berat akan selalu menarik mengingat perkembangannya yang penuh perdebatan baik dalam hukum nasional maupun dalam hukum internasional.
Dalam literatur kita dapat melihat bahwa pertanggungjawaban para pemimpin politik dan militer terhadap kejahatan berat HAM dalam dunia internasional mulai hangat dibicarakan sejak meletusnya Perang Dunia I. Bahkan melihat sejarah sebelumnya, sebenarnya pertanggungjawaban ini telah dikenal sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun dalam prakteknya, memang praktek impunitas terhadap para pelaku pelanggaran berat HAM ini masih saja terjadi.
Pada kira-kira tahun 500 BC, Sun Tzu menulis dalam ‘the Art of War’ bahwa : when troops flee, are insubordinate, distressed, collapse in disorder, or are routed, it is the fault of the general. None of these disorders can be attributed to natural causes. Demikian pula Napoleon Bonaparte menegaskan bahwa : there are no bad regiments, they are only bad colonels. King Charles VII of Orleans misalnya mengeluarkan dekrit yang berbunyi : komandan militer dapat dipertanggungjawabkan bilamana dalam komandonya terjadi kejahatan terjhadap penduduk sipil, tidak peduli apakah komandan tersebut berpartisipasi dalam pelaksanaan kejahatan.
Hugo Grotius dalam bukunya De Jure Belli Ac Pacis (1615) menegaskan pula mengenai doktrin ini dengan menyatakan bahwa : we must accept the principle that he who knows of a crime, and is able and bound to prevent it and fails to do so, himself commits a crime. Dalam periode yang hampir bersamaan (1621), King Gustavus Adolphus dari Swedia menyatakan pula bahwa: no colonels or captain shall command his soldiers to do any unlawfull thing which who so does, shall be punished according to the discretion of the judges...6
Setelah Perang Dunia I, dalam Treaty of Versailles atau Konferensi Perdamaian Versailles dirumuskan sebuah rekomendasi untuk mengakhiri impunitas yang dinikmati oleh para pemimpin politik maupun militer yang melakukan kejahatan perang. Rekomendasi ini menyatakan bahwa : semua orang dari negara musuh7, bagaimanapun tingginya posisi mereka, tanpa membedakan pangkat maupun posisi, termasuk jabatan Kepala Negara yang bersalah melakukan keejahatan melawan hukum dan kejahatan terhadap hukum kebiasaan perang atau hukum kemanusiaan, dapat dikenai tuntutan.
Seusai Perang Dunia II, melalui Piagam Pengadilan Nuremberg, negara-negara pemenang perang berhasil mencapai kesepakatan untuk mengadili para jenderal dan pemimpin Nazi. Piagam Nuremberg ini bisa dikatakan merupakan langkah awal berakhirnya impunitas terhadap pemimpin politik maupun militer yang melakukan pelanggaran berat HAM. Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg menyebutkan prinsip hukum sebagai berikut :8
Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengasingan dan tindakan lain yang sangat kejam, yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum perang atau selama perang, atau kekerasan-kekerasan dan penyiksaan atas dasar politik, rasial atau alasan-alasan keagamaan menjadi yurusdiksi pengadilan, entah bertentangan dengan hukum nasional atau tidak dari negara di mana kejahatan itu dilakukan pemimpin-pemimpin, organisator-organisator, penghasut-penghasut, antek-antek yang terlibat ketika menyusun, melaksanakan rencana bersama atau berkonspirasi untuk melaksanakan kejahatan-kejahatan yang bersangkutan, bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang ada dalam rencana tersebut.

Prinsip pertanggungjawaban komando ini ditegaskan pula oleh Pengadilan Tokyo yang mengadili Jenderal Yamashita yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Amerika yang menyatakan :
Seorang penguasa wilayah, bertanggungjawab penuh secara individual dalam memberikan perintah yang keliru untuk melakukan kejahatan. Tanggungjawab itu juga mencakup kegagalan untuk mencegah tingkah laku yang melanggar hukum dari bawahannya, jika ia mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan anak buahnya itu mendatangkan kejahatan, dan tidak dilakukan upaya pencegahannya atau menghukum mereka yang melakukan kejahatan.

Diskursus mengenai command responsibility menghangat kembali setelah Pasal 7 Statute of the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (1993) dan Pasal 6 Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (1994)9 mengatur mengenai hal ini. Dalam Pasal 7 ICTY misalnya ditegaskan bahwa :
a person who planned, instigated, ordered, commited or otherwise aided and abbeted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in the art. 2 to 5 of the present statute, shall be individually responsible for the crime;
the official position of any accused person, whether as a Head of State or Government official, shall not relieve such person of criminal responsibility nor mitigate punishment;
the fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present statue was commited by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he know or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof;
the fact that an accused person acted pursuant to an order of a Government or of Superior shall not relieve him of criminal responsibility but may be considered in mitigation of punishment if the International Tribunal determines that justice requires.

Demikian sejarah mengenai pertanggungjawaban komando, yang kemudian dimasukkan dalam Pasal 28 Statuta Roma tentang International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional yang dianggap sebagai karya agung bangsa-bangsa dalam menegakkan hukum HAM intenasional, yang selanjutnya merupakan pengadilan internasional yang permanen untuk menegakkan hukum terhadap pelaku kejahatan ataupun pelanggaran berat terhadap kemanusiaan.

C.2. Pengertian Pertanggungjawaban Komando

Berdasarkan prinsip-prinsip dalam hukum pidana, setiap orang bertanggungjawab secara individual terhadap kejahatan atau tindak pidana yang diperbuatnya. Demikian pula pertanggungjawaban pelaku pelanggaran berat HAM dilakukan secara individual (individual criminal responsibility) baik langsung maupun tidak langsung. Tanggung jawab individual ini dikenakan baik pada mereka yang berada di lapangan maupun mereka yang karena kapasitasnya memikul tanggung jawab komando (command responsibility).
Secara konseptual pertanggungjawaban komando ini dikenakan atas perbuatan yang dilakukan baik secara commissionis maupun omissionis. Bagaimana secara teoritis terutama teori dalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana komando dapat diterangkan. Apakah yang dimaksud dengan perbuatan atau delik commissionis ? Apa pula yang dimaksud dengan delik omissionis ?
Untuk menjawabnya kita bisa melihat mengenai salah satu pembagian jenis delik dalam hukum pidana. Jenis delik tersebut dijelaskan oleh Sudarto sebagai berikut :
Delik commissionis : yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu dengan cara berbuat.
Delik omissionis : yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap suatu perintah, yakni dengan tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan.
Delik commissionis per omissionen commissa : yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat.10

Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Schaffmeister, bahwa delik komisi adalah delik di mana pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang melarang suatu perbuatan tertentu. Sedangkan delik omisi adalah delik yang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, dengan mengancam pidana seseorang yang tidak berbuat. Jadi pelaku delik omisi adalah orang yang tidak melakukan apa yang dia harus perbuat.11
Dengan pembagian jenis delik ini, dapat dilihat bahwa terhadap suatu perbuatan, seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila ia secara aktif melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Selain itu seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana pula apabila ia memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan atau sesuatu yang seharusnya dilakukan, tetapi ia tidak melakukan perbuatan tersebut (by ommission delict).
Namun karena pertanggungjawaban komando merupakan sebuah konsep yang masih relatif baru (terutama di Indonesia), dalam banyak hal sering terjadi mispersepsi atau misinterpretasi.
Beberapa mispersepsi tersebut, menurut Sihombing adalah : a) pertanggungjawaban komando dipandang sama dengan delik omisi; b) pertanggungjawaban komando berkaitan dengan superior order (perintah atasan); c) pertanggungjawaban komando telah didistribusikan kepada komando bersamaan dengan pembagian tugas dan tanggungjawab; dan d) terhadap pertanggungjawaban komando hanya dapat dimintakan terhadap 2 step dari atasan langsung.
Perbedaan antara pertanggungjawaban komando dan perintah atasan adalah sebagai berikut. Dalam pertanggungjawaban komando, walaupun pimpinan tidak melakukan apa-apa tetapi anak buahnya melakukan kejahatan (dalam hubungan tugas) dan tindakan tersebut tidak ada hubungan dengan komandan, komadan dapat dipertanggungjawabkan apabila syarat-syarat tertentu terdapat dalam keadaan yang meliputi kasus tersebut.
Sedangkan dalam perintah atasan atau superior order, anggota atau bawahan dalam hal ini melaksanakan perintah atasan. Komandan melakukan tindakan berupa pemberian perintah kepada anak buahnya untuk melakukan kejahatan. Dalam hal ini komandanlah yang bertanggungjawab.12
Sebelum tahun 1945, anggota atau anak buah yang melaksanakan perintah atasan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena alasan perintah atasan. Namun sejak Nuremberg Tribunal dan Tokyo Tribunal dinyatakan bahwa Perintah Atasan atau Superior Order bukan unsur pemaaf atas kejahatan yang dilakukan anggota atau anak buah, walaupun dapat dipertimbangkan sebagai unsur yang meringankan hukuman.
Dari beberapa pemaparan di atas, doktrin bahwa para komandan militer dan orang lain yang menduduki posisi dan kewenangan yang lebih tinggi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan anak buahnya sudah dimantapkan dalam norma hukum kebiasaan dan perjanjian hukum internasional. Melihat berbagai perumusan tersebut, nampak bahwa pertanggungjawaban pidana ini besumber dari actus reus baik berupa perbuatan positif dari komandan atau superior yang berupa direct command responsibility maupun atas dasar kelalaian yang bersifat omisionis (culpable ommisions).
Dengan demikian seorang komandan atau superior tidak hanya bisa dipertanggungjawabkan hanya karena memerintahkan, menghasut atau merencanakan tindak pidana yang kemudian dilakukan anak buahnya, tetapi ia juga dapat dipertanggungjawabkan karena kegagalan untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah atau menahan perbuatan melawan hukum bawahan tersebut. Jadi singkatnya, selain memerintahkan suatu perbuatan yang melanggar hukum, setiap orang --yang memiliki kewenangan memegang komando-- yang gagal untuk mencegah atau memberikan hukuman atas tindakan ilegal bawahannya dapat dimintai pertangungjawabannya sesuai rantai komando.
Perbedaan diantara kedua tipe pertanggungjawaban ini terletak pada kenyataan bahwa dalam hal perbuatan positif para komandan diikuti oleh apa yang dinamakan ‘principles of accomplice liability’ dalam kerangka tori penyertaan dalam hukum pidana (complicity, deelneming), sedangkan yang kedua berkaitan dengan apa yang dinamakan ‘the principle responsibility for omissions’ yang bisa terjadi apabila terdapat suatu kewajiban hukum untuk berbuat (legal obligation to act).
Mengenai pertanggungjawaban komando, Muladi mengemukakan adanya 3 (tiga) elemen utama, yaitu :13
adanya hubungan antara bawahan-atasan;
atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi atau sedang dilakukan; dan
atasan gagal untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan beralasan untuk mencegah tindak pidana terjadi dan menghukum pelaku.

Selanjutnya dikemukakan pula bahwa, hubungan antara atasan-bawahan sendiri dapat terjadi secara de-jure dan de-facto atau kombinasi diantara keduanya. Jenderal Arne Willy Dahl (2001) memberikan basis filosofi dari tanggungjawab komandan untuk mengendalikan anak buahnya berkaitan dengan nama baik dan reputasi serta kehormatan pasukannya atau bahkan dari negaranya.
Bassiouni mengidentifikasi bahwa : the failure of act depends on knowledge and opportunity to act adalah sebagai berikut :14
in the prevention of the criminal act;
subsequent to the act if the superior failed to supervise, discover and take remedial action as needed under the circumstances; and
prosecute and if found guilty, punish the violator.

Nico Keijzer yang banyak mengkaji pandangan Grotius mengatakan bahwa terdapat 3 (tiga) kondisi pertanggungjawaban komandan atas perbuatan bawahannya, yaitu :
seseorang mempunyai kontrol atas orang lain;
seseorang bertanggungjawab karena tidak melakukan pencegahan kejahatan yang diketahuinya (knowledge); dan
seseorang tidak hanya harus tahu, tetapi harus juga mampu untuk mencegah.

Dalam hal ini komandan tidak harus melihat sendiri terjadinya kekejaman, cukup apabila ia mengetahui bahwa bawahannya sedang dalam proses melakukan kejahatan dan yang bersangkutan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan atau beralasan untuk menjamin ditaatinya hukum perang atau memidana si pelaku.
Sehubungan dengan hal ini, seperti sudah dikemukakan di atas, bila dilihat dari hubungan atasan-anak buah (superior-subordinate), komando dibagi dalam dua jenis, yaitu de jure dan de facto. Komando secara de jure menitikberatkan kepada struktur formal eksekutif, seperti entitas negara. Dalam hal ini, pemegang kekuasaan yang mengeluarkan kebijakan. Sedangkan komando secara de facto menitikberatkan pada kemampuan kontrol secara efektif (duty to control) dari pemegang komando terhadap anak buahnya15, keharusan mengetahui segala tindakan anak buah (had reason to know). Selain itu, kewajibannya (duties) dalam mencegah terjadinya pelanggaran (duty to prevent) dan memberikan penghukuman bagi anak buah yang melanggar peraturan (duty to punish).
Hubungan atasan-anak buah menciptakan sebuah rantai komando. Pemegang komando taktis menjalankan fungsinya secara langsung pasukan yang berada di bawahnya. Sementara pemegang komando tertinggi (executive commanders) --dalam kasus ini bisa presiden atau perdana menteri—seyogyanya harus bertanggungjawab sebagai pemegang kebijakan sipil di pusat. Umumnya, pemegang komando tertinggi adalah penguasa daerah pendudukan yang diberikan kewenangan untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap penduduk sipil di wilayah pendudukan.16 Dengan demikian, mereka ini secara prinsipil, perbuatannya tetap dapat dipertanggungjawabkan.
Harus pula dipahami bahwa pertanggungjawaban komando tidak hanya diterapkan terhadap formal commanders, tetapi juga terhadap orang-orang yang memperoleh suatu posisi informal dalam hal mana ia bisa menggunakan kekuasaannya sebagai seorang komandan, yang sering terjadi dalam perang saudara.17
Sehubungan dengan pembedaan antara superior order dan command responsibility, dalam Article 7(1) ICTY Statute dan Article 6(1) ICTR Statute (secara identik) dibedakan pula antara pertanggungjawaban pidana secara langsung atau direct responsibility. Pengertian direct responsibility adalah:18
A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or execution of a crime . . . shall be individually responsible for the crime.

Dari pengaturan ini dapat dibedakan 5 jenis pertanggungjawaban : dua meliputi pertanggungjawaban yang sifatnya prinsipil dan tiga lagi tambahan (assesoir). Seseorang dapat dinyatakan bersalah apabila ia melakukan (committed) tindak pidana. Selain itu sesorang harus pula bertanggungjawab apabila ia merencanakan (planned) suatu tindak pidana; baik yang dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama. Dari ketentuan ini, pelaku harus dengan sengaja melakukan atau merencanakan tindak pidana atau setidaknya mengetahui bahwa suatu perbuatan pidana akan terjadi sebagai konsekuensi perbuatannya.
Seseorang dapat pula dipertanggungjawabkan perbuatannya berdasarkan interaksinya dengan pelaku lainnya karena ia menghasut (instigating), memerintahkan (ordering), atau membantu (aiding) dan bersekongkol atau bermufakat (abeting) melakukan perbuatan pidana. Pertanggungjawaban yang demikian sifatnya assesori karena seseorang mempercayakan orang lain untuk melakukan tindak pidana. Dengan demikian seorang komandan dapat secara prinsipil dipidana karena secara langsung (direct) melakukan tindak pidana dan secara assesori bertanggungjawab atas perbuatan orang lain (dalam hal ini bawahannya).
Untuk command responsibility, Articles 7(3) and 6(3) dari ICTY and ICTR statutes mengatur secara berbeda karena kadang-kadang yang disebut sebagai command responsibility sering dipersamakan dengan direct responsibility yang sifatnya assesoir seperti disebutkan di atas. Dalam hal ini seseorang yang memegang otoritas sebagai komandan (apakah sebagai pimpinan sipil maupun militer) dapat pula dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya apabila pimpinan tersebut gagal untuk mencegah terjadinya tindak pidana atau gagal untuk menghukum pelaku tindak pidana. Berikut pengaturan Pasal 7(3) and 6(3) dari ICTY and ICTR statutes :
The fact that any of the acts . . . was committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he knew or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof.

Demikian, sekilas mengenai gambaran dari doktrin pertanggungjawaban komando. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pertanggungjawaban komando menjerat dua tindakan yang dilakukan para pemegang komando yaitu pembiaran (ommision) dan tindakan pelanggaran hukum positif (commision) 19. Dalam pertanggungjawaban komando, tidak ada tindakan aktif/positif/komisi. Akan tetapi dalam superior order, ada tindakan aktif/positif/komisi yaitu memberi/memerintahkan bawahan untuk melakukan sesuatu.
Namun perlu pula diungkapkan bahwa untuk dipertanggungjawabkan dengan konsep command responsibility harus kontrol yang efektif dari seorang komandan terhadap perbuatan anak buahnya. Sedangkan kontrol efektif secara umum ditafsirkan sebagai suatu kondisi di mana atasan secara sungguh-sungguh mampu menggunakan kekuasaannya bilamana ia menginginkannya. Dengan demikian istilah ini lebih menunjuk kepada material ability untuk mencegah dan menahan terjadinya tindak pidana. Tentu saja perkecualian bisa terjadi yaitu apabila komandan tidak mempunyai kontrol efektif misalnya karena terputusnya komunikasi, adanya pemberontakan (mutiny) atau sebab-sebab lain yang tidak dapat dihindari.
Dari teori yang berkembang dalam hukum pidana inilah kemudian pertanggungjawaban komando berkembang dalam doktrin dan praktek yang kemudian melembaga secara normatif baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional.


D. PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO DALAM HUKUM HAM INTERNASIONAL DAN DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

D.1. Pengaturan Pertanggungjawaban Komando dalam Hukum HAM Internasional

Dalam instrumen hukum internasional, pertanggungjawaban komando dapat ditemukan dalam Pasal 86 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 (1977), Pasal 6 dari Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind yang disusun oleh Internatonal Law Commission, Pasal 7 (3) Statuta ICTY, Pasal 6 (3) Statuta ICTR dan Pasal 28 (2) Statuta ICC.
Semua instrumen tersebut memberikan kepada para pemegang komando pengaturan supaya bertanggungjawab untuk mencegah anak buahnya dari tindakan pelanggaran hukum HAM serta hukum perang (laws of war) serta bertanggungjawab untuk menghukum anak buahnya jika hukum tersebut dilanggar.
Dalam Pasal 86 ke-2 Additional Protocol atau Protokol Tambahan I tahun 1977 dari Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Korban Perang tanggal 12 Agustus 1949 dinyatakan bahwa :
the fact that a breach of the convention or of this protocol was commited by a subordinate does not absolve hid superior from penal or diciplinary, as the case may be if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time, that he was commiting or was going to commit such a breah and if they do not take all reasible measures within their power to prevent or repress the breach.

Selanjutnya dalam Pasal 87 Additional Protocol I Konvensi Jenewa tersebut dinyatakan pula bahwa :
international law imposes an affirmative duty on superiors to prevent persons under their control from commiting violations of international humanitarian law, and it is ultimately his duty that provides the basis for, and defines the contours of, the imputed criminal responsibility under art 7 (3) of the statute.

Selain itu, pengaturan hukum HAM internasional lain yang mengatur mengenai pertanggungjawaban komando adalah Pasal 28 Statuta Roma tentang International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional. Isi dari pengaturan tersebut adalah sebagai berikut :20
(a) A military commander or person effectively acting as a military commander shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by forces under his or her effective command and control, or effective authority and control as the case may be, as a result of his or her failure to exercise control properly over such forces, where:
(i) That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes; and
(ii) That military commander or person failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.
(b) With respect to superior and subordinate relationships not described in paragraph (a), a superior shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by subordinates under his or her effective authority and control, as a result of his or her failure to exercise control properly over such subordinates, where:
(i) The superior either knew, or consciously disregarded information which clearly indicated, that the subordinates were committing or about to commit such crimes;
(ii) The crimes concerned activities that were within the effective responsibility and control of the superior; and
(iii) The superior failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.

Mengenai pengaturan yang mendasarkan diri pada case law dari dua tribunal yaitu ICTY dan ICTR telah disebutkan di atas, sehingga secara cukup lengkap telah disebutkan pengaturan-pengaturan pertanggungjawaban komando dalam Hukum Ham Internasional yang mendasarkan diri pada case law dari dua tribunal yaitu ICTY dan ICTR, Pasal 86 dan 87 Protokol Tambahan I tahun 1977 dari Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Perang tanggal 12 Agustus 1949 dan Pasal 28 Statuta Roma.

D.2. Pengaturan Pertanggungjawaban Komando dalam Hukum Positif Indonesia

Dalam hukum positif di Indonesia, pertanggungjawaban komando diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang sebenarnya merupakan jiplakan dari isi Statuta ICC. Secara lengkapnya bunyi pengaturan tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :
a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Dalam ayat selanjutnya yaitu ayat (3) Pasal 42 UU Pengadilan HAM disebutkan bahwa perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.

E. PERTANGGUNGJAWABAN ANAK BUAH DAN PERTANGGUNG-JAWABAN KOMANDO

Selain permasalahan mengenai superior order dan command responsibility, salah satu permasalahan yang pelik dan membutuhkan pemikiran adalah berlindungnya anak buah (bawahan) dari pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan melanggar hukum dengan dalih perintah atasan. Demikian pula sebaliknya, atasan yang berlindung terhadap tanggung jawabnya dengan menyatakan bahwa anak buah (bawahan) yang melakukan tindak pidana harus dibuktikan terlebih dahulu dan sudah dipidana.
Untuk penerapan pertanggung-jawaban anak buah (bawahan), pada periode sebelum 1945 anggota atau anak buah yang melanggar hukum atas perintah atasan tidak dipidana. Yang dipidana adalah komandan yang memberi perintah, dengan alasan prajurit wajib untuk patuh kepada perintah komandan. Namun demikian, dalam perkembangannya, apabila prajurit mengetahui bahwa perintah tersebut merupakan kejahatan sipil atau militer maka prajurit tersebut juga dapat dipidana.
Hal ini misalnya dapat dilihat dalam dalam British Manual of Military Law 1944 dalam kutipan di bawah ini:21
Individuals and organizations who violate the accepted laws and customs of war may be punished therefor. How ever, the fact that the acts complained of were done pursuant to order of a superior order or government sanction may be taken into consideration in determining culpability, either by way of defence or in mitigation of punishment.......

Pada periode setelah 1945, negara-negara sekutu dengan negara-negara eks daerah pendudukan mengubah ketentuan perundang-undangannya. Hal ini bertujuan agar dalam pemeriksaan di Mahkamah Militer pelaku kejahatan perang tidak lagi menggunakan ‘perintah atasan’ sebagai alasan pembelaan absolut. Sikap dari Nuremberg Tribunal dapat dilihat dari kutipan berikut:
the official position of defendants, whether as heads of state or responsible officials in government departments, shall not be considered as freeing them from responsibility or mitigating punishment. That the fact the defendant acted pursuant to order of his government or of a superior shall not free him from responsibility, but they may be considered in mitigation or punishment if the tribunal detertmines that justice so requires.

Sementara itu Tokyo Tribunal dengan mengikuti sikap Nuremberg Tribunal menyatakan bahwa superior order bukan unsur pemaaf atas kejahatan yang dilakukan anggota. Akan tetapi hal itu dapat dipertimbangkan sebagai unsur yang meringankan hukuman. Berikut kutipannya:
... The duty to obey... order coming from a higher authority which the accused is by the law and custom of his service obliged to obey... is limited to the observance of orders which are lawful. There is no duty to obey that which is not unlawful order....

Perkembangan paling akhir mengenai tidak dapatnya seorang bawahan berlindung dari pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan melanggar hukum dengan dalih perintah atasan adalah dengan mempertegas hak prajurit untuk menolak perintah (unlawful order) : The right of the soldiers to disobey unlawful order.
Hukum di Indonesia mengatur beberapa hal mengenai ini. Dalam Pasal 51 (1) dan 51 (2) KUHP ditentukan mengenai alasan pembenar dan pemaaf seseorang yang melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh atasannya. Hal inilah yang sering menjadi persoalan dalam praktek.
Pasal 51 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan bahwa : Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang , tidak dipidana.
Demikian pula Pasal 51 (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjelaskan: Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Selain itu dalam Pasal 103 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dinyatakan bahwa militer wajib menaati perintah Dinas. (Perintah Dinas = perintah yang berkaitan dengan tugas dan fungsi TNI). Dalam hal ini tidak dipersoalkan apakah perintah tersebut melanggar hukum atau tidak melanggar hukum (lawful order atau unlawful order). Hal ini ditegaskan ulang dalam Pasal 11 Peraturan Disiplin Tentara (PDT) dengan menyatakan militer wajib menaati perintah berdasarkan kedinasan atau kepentingan tentara baik perintah lisan/tulisan, singkat, lengkap dan jelas. Sementara itu Pasal 12, PDT menyatakan bahwa bawahan harus memahami isi perintah, bertanggungjawab kepada atasan yang memberi perintah dan melaporkan kepada yang memberi perintah22.
Namun demikian menurut PLT Sihombing, seyogyanya ketentuan pasal tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan hukum kebiasaan perang, hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia.
Dengan demikian menurutnya dapat digunakan Pasal 55 (1) ke-1 KUHP yang menyatakan: dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang melakukan yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan. Dengan penggunaan pasal ini maka yang menyuruh melakukan (komandan yang memberi perintah) dan yang disuruh melakukan (anak buah di bawah komando) tetap dapat dipidana.
Inilah pentingnya melakukan pembahasan mengenai perbedaan antara pertanggungjawaban komando (command responsibility) dan perintah atasan (superior order), karena perbedaan itu berkonsekuensi pada dua sistem pemidanaan yang berbeda. Demikian pula pembahasan tentang pertanggungjawaban anak buah (bawahan) di mana perintah atasan tidak dapat lagi dijadikan sebagai alasan untuk melepaskan tanggungjawabnya secara mutlak atau absolut. Namun demikian perlu dipahami bahwa dalam prakteknya memang sulit untuk menerapkan prinsip hak prajurit untuk menolak perintah (unlawful order) : atau the right of the soldiers to disobey unlawful order, karena begitulah terutama isi sumpah dari prajurit (militer), yaitu untuk taat pada perintah atasan.

F. PRINSIP-PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO
Salah satu prinsip penting dari adanya pertanggungjawaban komando adalah dimilikinya legal authority oleh komandan, dengan demikian komandan juga memiliki legal obligation, dengan demikian ada command responsibility. Kewajiban hukum komandan dalam hal ini adalah penggunaan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan kejahatan/pelanggaran HAM, kekuasan tersebut dilalaikan atau gagal digunakan untuk menghentikan (to suppres), mencegah (to prevent), menindak (to reppress), melapor (to report) kejahatan/ pelanggaran HAM.
Selain prinsip penting tersebut, pembahasan prinsip pertanggungjawaban komando dapat dimulai dengan unsur-unsur doktrin pertanggungjawaban komando, yakni:
Adanya hubungan subordinasi antara komandan dan pelaku meliputi hubungan langsung (immediate commander) dan hubungan tidak langsung (mengikuti hierarkhi rantai komando);
Perlu dibuktikan bahwa komandan mengetahui, atau seharusnya mengetahui bahwa pasukan dibawah komandonya sedang, atau akan atau telah melakukan pelanggaran hukum. Namun dalam hal ini perlu pula dibicarakan mengenai kontrol efektif dari komandan terhadap anak buah.
Komandan telah gagal melakukan pencegahan atau menghukum pelaku.23

Sampai di sini muncul persoalan yaitu sampai tingkat komando yang mana dapat diterapkan pertanggungjawaban komando? Dari sudut doktrin, sebenarnya pertanggungjawaban komando dapat diterapkan pada seluruh rantai komando (unity of command). Mengenai hal ini, dalam kaitannya dengan Pasal 87 dan Pasal 86 ke 2 Protokol I Tahun 1977 Konvensi Jenewa ditegaskan mengenai tingkatan responsibility of the commanders yaitu:
...this responsibility applies from the highest to the lowest lebel of the hierarchy, from the commander in chief down to the common soldier who take over as a head of the platoon...

Berdasarkan sejarah perkembangan dapat dilihat bahwa para komandan dapat dituntut pertanggungjawaban komando apabila :24
Ada pelanggaran/kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer di bawah komandonya atau orang-orang yang berada di bawah pengendaliannya.
Pelanggaran tersebut terjadi pada waktu melaksanakan tugas/operasi dalam suatu situasi konflik (internasional atau internal).
Bahwa tanggungjawab komando secara pidana/perdata timbul karena adanya kesalahan komandan militer/sipil yang memiliki kewenangan seperti komando militer yaitu tidak melakukan kewajiban hukumnya berupa penggunaan kekuasaan yang dimilikinya untuk mencegah dan menindak pelaku pelanggaran.
Kekuasaan tersebut adalah kekuasaan menurut hukum yang melahirkan kewajiban hukum.
Kekuasaan tersebut seharusnya mampu untuk mencegah, menghentikan, dan menindak pelaku pelanggaran.
Adanya hubungan subordinasi langsung atau tidak langsung antara komandan dengan pelaku.
Adanya pengetahuan komandan bahwa anak buahnya akan, sedang atau telah melakukan pelanggaran secara aktual ataupun secara konstruktif.
Komandan dengan kekuasaan yang dimilikinya gagal melakukan pencegahan atau menghentikan atau menindak dan menyerahkan pelaku pelanggaran kepada yang berwajib.
Dalam praktek kesulitan yang muncul adalah terlebih dahulu harus ada keputusan pengadilan atas kejahatan yang dilakukan oleh bawahan yaitu bukti ada kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer di bawah komando atau orang yang berada di bawah pengendalian seorang komando. Namun sangat menarik bahwa dalam praktek pemeriksaan kasus Jendral Tomoyuki Yamashita, Admiral Soemu Toyoda, Karadzic, Delalic, Mucic dan Delic, pertanggungjawaban komando diterapkan walaupun tidak ada putusan pengadilan atas pelanggaran yang dilakukan anak buahnya tetapi terdapat bukti-bukti materiil bahwa anak buah di bawah komandonya atau orang yang berada di bawah pengendaliannya telah terlibat melakukan pelanggaran/ kejahatan.

G. PENUTUP
Demikianlah beberapa prinsip serta pengaturan mengenai pertanggungjawaban komando (command responsibility) terhadap pelaku pelanggaran berat Hak Asasi Manusia dalam rangka mencegah terjadinya impunitas atau pembiaran terhadap para pemimpin baik politik maupun militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat HAM. Seperti telah disebutkan di atas pelanggaran berat HAM yang berupa kejahatan genocide, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang saat ini dianggap sebagai musuh umat manusia (hostis humanis generis), sehingga menimbulkan suatu obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional secara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelakunya.
Sebagai negara yang yang telah mengatur jenis pertanggung jawaban komando ini dalam hukum positifnya, Indonesia secara moral maupun secara hukum bertanggung jawab untuk tidak membiarkan terjadinya praktek impunitas terhadap pelaku kasus pelanggaran berat HAM baik yang terjadi pada masa lampau maupun masa depan. Mata dunia internasional terus tertuju melihat keseriusan dan kesungguhan Indonesia untuk mengadili dan menghukum pelaku kasus-kasus pelanggaran berat HAM ini. Pembiaran serta praktek impunitas terhadap pelaku pelanggaran berat HAM akan menjadi preseden buruk serta menusuk rasa keadilan. Adalah tugas kita sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa untuk ikut memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, memberikan perlindungan, kepastian hukum dan keadilan serta perasaan aman kepada seluruh rakyat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.

*****

DAFTAR PUSTAKA

Literatur :

Danner, Allison M. dan Jenny S. Martinez, Guilty Associations: Joint Criminal Enterprise, Command Responsibility and the Development of International Criminal Law, Paper dalam International Law Workshop, University of California, Berkeley, 2004 dari http://repositories.cdlib.org/berkeley ilw/fall2004/3

Kasim, Ifdhal, dalam Elemen-elemen Kejahatan dari ‘Crimes Against Humanity’: Sebuah Penjelasan Pustaka, dalam Jurnal HAM Vol 2 No. 2 Nopember 2004, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004

_________, Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional, Mengadili Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang, Agresi, terjemahan, Jakarta : Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2000
Mahle, Anne E., Command Responsibility - An International Focus dalam http://www.pbs.org/wnet/justice/world_issues_com.html
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Yogyakarta : Gajah Mada University Press, Cetakan Ke XII, 1982
Muladi, Polisi, Hak-hak Asasi Manusia dan Globalisasi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Polisi Indonesia II tentang Pertanggungjawaban Polisi, Semarang, 1996

_________, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum, Jakarta : The Habibie Centre, 2002

Nusantara, Abdul Hakim G., Sebuah Upaya Memutus Impunitas : Tanggung Jawab Komando dalam Pelanggaran Berat HAM, dalam Jurnal HAM Vol 2 No. 2 Nopember 2004, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004

Rusman, Rina, Konsep Pelanggaran Berat HAM Dilihat dari Sisi Hukum Humaniter, dalam Jurnal HAM Vol 2 No. 2 Nopember 2004, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004

Schaffmeister ,D., N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta : Liberty, 1995

Sihombing, P.L.T., Pertanggungjawaban Komando, dalam Jurnal HAM Vol 2 No. 2 Nopember 2004, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan II, Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990
Undang-Undang :

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Internet :

http://www.indonesiahouse.org/focus/militer/060803TNI_aceh_pulaunasi. htm
http://www.sekitarkita.com/comments. php?id=487_0_1_0_M
http://www.pbs.org/wnet/justice/world_issues_com.html
http://www.indonesiahouse.org/focus/militer/060803TNI_aceh_pulaunasi. htm
http://www.un.org/icty
http://www.ictr.org.
http://www.un.org/law/icc/statute/romefra.htm