Thursday, May 1, 2008

HAM

BEBERAPA PRINSIP DAN PENGATURAN
PERTANGGUNG-JAWABAN KOMANDO DALAM KASUS PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA•
Oleh : Marcella Elwina S.


ABSTRAK

Paper ini berusaha mengungkapkan beberapa prinsip serta pengaturan mengenai pertanggungjawaban komando (command responsibility) terhadap pelaku pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang telah diatur baik dalam beberapa instrumen internasional maupun dalam hukum positif di Indonesia. Pertanggung-jawaban komando sendiri diatur baik dalam hukum HAM Internasional atau Hukum Positif di Indonesia dalam rangka mencegah terjadinya impunitas atau pembiaran terhadap para pemimpin baik politik maupun militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat HAM seperti kejahatan genocide, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang yang dianggap sebagai musuh umat manusia (hostis humanis generis), yang karenanya menimbulkan suatu obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional secara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelakunya. Di era global, di mana laju informasi sangat mudah diperoleh, mata dunia internasional terus tertuju melihat keseriusan Indonesia untuk mengadili dan menghukum pelaku kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Oleh karenanya harus ada kesungguhan dan keseriusan dari peradilan untuk mengadili para pelaku pelanggaran berat HAM di Indonesia baik yang terjadi pada masa lampau, masa kini serta masa datang.


A. PENDAHULUAN

Hak Asasi Manusia (human rights) adalah hak-hak yang melekat secara inherent pada setiap manusia oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi ataupun dirampas oleh siapapun. Tanpa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya maka manusia akan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Dengan demikian hak asasi manusia wajib dilindungi baik oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Oleh masyarakat dunia, perumusan serta pengakuan terhadap hak asasi manusia ini telah diperjuangkan dalam kurun waktu yang sangat panjang, bahkan sampai saat ini. Namun demikian dapat dikatakan bahwa titik kulminasi perjuangan umat manusia dalam memperjuangkan HAM adalah dengan lahirnya The Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 setelah menyaksikan kekejaman perang masa lalu.
Di Indonesia masalah HAM sebenarnya telah mengakar budaya secara kuat karena negara Republik Indonesia terbentuk sebagai reaksi terhadap pelanggaran HAM yang absolut berupa penjajahan selama kurun waktu lebih dari 350 tahun. Sebagai bukti, beberapa permasalahan dasar mengenai hak asasi manusia misalnya sejak awal telah dimasukkan oleh para pendiri bangsa dalam Undang-undang Dasar 1945. Hal ini diperkuat dengan amandemen terhadap UUD 1945 dalam beberapa tahun terakhir ini.
Dalam sejarah, bangsa Indonesia mencatat pula berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku diskriminatif baik yang bersifat vertikal yang dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara maupun sebaliknya ataupun yang bersifat horizontal yaitu antar warga negara sendiri. Banyak pula diantaranya yang masuk dalam pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights).
Perkembangan lain mengenai promosi dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia adalah dengan diundangkannya Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedua undang-undang sendiri lahir sebagai akibat keruntuhan rezim Orde Baru, serta untuk menjawab tantangan zaman yaitu melakukan adaptasi dengan nilai-nilai universal atau nilai-nilai internasional yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa1.
Sejak diundangkannya dua undang-undang tersebut, terminologi-terminologi seperti ‘pelanggaran berat hak asasi manusia’ (gross violation of human rights), genocide, crime against humanity, command responsibility telah masuk secara formal menjadi bagian dari leksikon hukum di Indonesia. Kedua UU ini sendiri dapat dianggap sebagai tonggak pencapaian reformasi yang penting yang bukan saja telah dan diharapkan akan menyeret para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia (yang kebanyakan state officials) ke depan pengadilan, tetapi juga menubuhkan (imposing)2 konsep-konsep atau terminologi hukum yang belum dikenal dalam tubuh hukum positif di Indonesia seperti genocide, crime against humanity, command responsibility, beserta beragam konsep turunan yang terkandung di dalamnya.
Secara internasional, khusus untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, oleh masyarakat internasional telah disetujui di Roma sebuah instrumen yang dapat mengadili pelaku atau individu-individu pelanggar HAM berat yaitu International Criminal Court yang sering disebut sebagai Rome Statute pada tahun 1998. Norma-norma di dalam Rome Statute ini merupakan kodifikasi dari hukum (pidana) internasional. Praktek-praktek internasional menunjukan pula bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan pelanggaran terhadap ius cogens baik bila dilihat dalam hukum kebiasaan internasional (international customary law), menurut beberapa konvensi atau instrumen internasional serta menurut prisip-prinsip hukum umum (general principles of law recognized by civilized nations).
Mengingat bahwa pelanggaran berat HAM adalah kejahatan yang menimbulkan ketegangan dan sangat meresahkan masyarakat dan bangsa-bangsa dan merupakan kejahatan yang sangat serius, maka pelanggaran berat atau kejahatan HAM ini kemudian dianggap menjadi musuh umat manusia (hostis humanis generis)3. Dengan demikian, kejahatan semacam ini menimbulkan obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional secara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelakunya. Oleh karena itu, untuk kejahatan terhadap kemanusiaan berlaku prinsip yurisdiksi universal. Setiap negara dapat mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di manapun dan dilakukan oleh warga negara lain.

B. PENGERTIAN DAN PENGATURAN PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA

Sebagai bagian dari hukum nasional, hak asasi manusia biasanya diatur dalam bidang hukum publik yang mengatur hubungan antara negara dengan masyarakat atau warga masyarakatnya. Dengan melihat isi dari UU HAM dan UU Pengadilan HAM, kita dapat membedakan perlindungan hak asasi manusia dengan perlindungan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan UU ini pelanggaran yang dapat diselesaikan oleh mekanisme hukum lainnya, seperti misalnya pelanggaran hukum pidana atau pelanggaran hukum tata usaha negara tidak akan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.
Pembedaan tersebut, antara lain dapat dilihat dari definisi pelanggaran HAM. Disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang berat diatur dalam Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 yaitu pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).
Sebagai kelanjutan dan amanat UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun, dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang bertitik tolak dari perkembangan hukum, kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, dalam rangka menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia.
Dalam Penjelasan Umum UU Pengadilan HAM dinyatakan bahwa Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan extra ordinary crimes dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Berbeda dengan pengertian pelanggaran HAM berat dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pengertian pelanggaran HAM berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 7 meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.4
Ada perbedaan pengaturan jenis pelanggaran HAM berat dalam Statuta Roma maupun UU Pengadilan HAM. Dalam UU Pengadilan HAM, pelanggaran HAM berat hanya meliputi 2 jenis kejahatan yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma ada 4 (empat). Keempat jenis kejahatan tersebut meliputi kejahatan genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (agression crimes) yang dianggap sebagai the most serious crimes of international concern (kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional).5
Selanjutnya untuk tidak membiarkan paper ini berbicara terlalu luas, paper ini akan memfokuskan diri pada pemaparan mengenai salah satu konsep pertanggungjawaban terhadap pelaku pelanggaran berat HAM yaitu pertanggung-jawaban komando (command responsibility). Konsep atau pengaturan mengenai ‘command responsibility’ ini sendiri dimasukkan dan diatur baik dalam hukum HAM internasional atau Hukum Positif di Indonesia dalam rangka mencegah terjadinya impunitas atau pembiaran terhadap para pemimpin baik politik maupun militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat HAM seperti kejahatan genocide, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang.

C. SEJARAH PENGATURAN DAN PENGERTIAN PERTANGGUNG-JAWABAN KOMANDO

C.1. Sejarah Pengaturan Pertanggungjawaban Komando

Diskursus mengenai doktrin ‘pertanggungjawaban komando’ dalam hukum (terutama hukum pidana) dan dalam kejahatan HAM berat akan selalu menarik mengingat perkembangannya yang penuh perdebatan baik dalam hukum nasional maupun dalam hukum internasional.
Dalam literatur kita dapat melihat bahwa pertanggungjawaban para pemimpin politik dan militer terhadap kejahatan berat HAM dalam dunia internasional mulai hangat dibicarakan sejak meletusnya Perang Dunia I. Bahkan melihat sejarah sebelumnya, sebenarnya pertanggungjawaban ini telah dikenal sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun dalam prakteknya, memang praktek impunitas terhadap para pelaku pelanggaran berat HAM ini masih saja terjadi.
Pada kira-kira tahun 500 BC, Sun Tzu menulis dalam ‘the Art of War’ bahwa : when troops flee, are insubordinate, distressed, collapse in disorder, or are routed, it is the fault of the general. None of these disorders can be attributed to natural causes. Demikian pula Napoleon Bonaparte menegaskan bahwa : there are no bad regiments, they are only bad colonels. King Charles VII of Orleans misalnya mengeluarkan dekrit yang berbunyi : komandan militer dapat dipertanggungjawabkan bilamana dalam komandonya terjadi kejahatan terjhadap penduduk sipil, tidak peduli apakah komandan tersebut berpartisipasi dalam pelaksanaan kejahatan.
Hugo Grotius dalam bukunya De Jure Belli Ac Pacis (1615) menegaskan pula mengenai doktrin ini dengan menyatakan bahwa : we must accept the principle that he who knows of a crime, and is able and bound to prevent it and fails to do so, himself commits a crime. Dalam periode yang hampir bersamaan (1621), King Gustavus Adolphus dari Swedia menyatakan pula bahwa: no colonels or captain shall command his soldiers to do any unlawfull thing which who so does, shall be punished according to the discretion of the judges...6
Setelah Perang Dunia I, dalam Treaty of Versailles atau Konferensi Perdamaian Versailles dirumuskan sebuah rekomendasi untuk mengakhiri impunitas yang dinikmati oleh para pemimpin politik maupun militer yang melakukan kejahatan perang. Rekomendasi ini menyatakan bahwa : semua orang dari negara musuh7, bagaimanapun tingginya posisi mereka, tanpa membedakan pangkat maupun posisi, termasuk jabatan Kepala Negara yang bersalah melakukan keejahatan melawan hukum dan kejahatan terhadap hukum kebiasaan perang atau hukum kemanusiaan, dapat dikenai tuntutan.
Seusai Perang Dunia II, melalui Piagam Pengadilan Nuremberg, negara-negara pemenang perang berhasil mencapai kesepakatan untuk mengadili para jenderal dan pemimpin Nazi. Piagam Nuremberg ini bisa dikatakan merupakan langkah awal berakhirnya impunitas terhadap pemimpin politik maupun militer yang melakukan pelanggaran berat HAM. Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg menyebutkan prinsip hukum sebagai berikut :8
Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengasingan dan tindakan lain yang sangat kejam, yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum perang atau selama perang, atau kekerasan-kekerasan dan penyiksaan atas dasar politik, rasial atau alasan-alasan keagamaan menjadi yurusdiksi pengadilan, entah bertentangan dengan hukum nasional atau tidak dari negara di mana kejahatan itu dilakukan pemimpin-pemimpin, organisator-organisator, penghasut-penghasut, antek-antek yang terlibat ketika menyusun, melaksanakan rencana bersama atau berkonspirasi untuk melaksanakan kejahatan-kejahatan yang bersangkutan, bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang ada dalam rencana tersebut.

Prinsip pertanggungjawaban komando ini ditegaskan pula oleh Pengadilan Tokyo yang mengadili Jenderal Yamashita yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Amerika yang menyatakan :
Seorang penguasa wilayah, bertanggungjawab penuh secara individual dalam memberikan perintah yang keliru untuk melakukan kejahatan. Tanggungjawab itu juga mencakup kegagalan untuk mencegah tingkah laku yang melanggar hukum dari bawahannya, jika ia mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan anak buahnya itu mendatangkan kejahatan, dan tidak dilakukan upaya pencegahannya atau menghukum mereka yang melakukan kejahatan.

Diskursus mengenai command responsibility menghangat kembali setelah Pasal 7 Statute of the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (1993) dan Pasal 6 Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (1994)9 mengatur mengenai hal ini. Dalam Pasal 7 ICTY misalnya ditegaskan bahwa :
a person who planned, instigated, ordered, commited or otherwise aided and abbeted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in the art. 2 to 5 of the present statute, shall be individually responsible for the crime;
the official position of any accused person, whether as a Head of State or Government official, shall not relieve such person of criminal responsibility nor mitigate punishment;
the fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present statue was commited by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he know or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof;
the fact that an accused person acted pursuant to an order of a Government or of Superior shall not relieve him of criminal responsibility but may be considered in mitigation of punishment if the International Tribunal determines that justice requires.

Demikian sejarah mengenai pertanggungjawaban komando, yang kemudian dimasukkan dalam Pasal 28 Statuta Roma tentang International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional yang dianggap sebagai karya agung bangsa-bangsa dalam menegakkan hukum HAM intenasional, yang selanjutnya merupakan pengadilan internasional yang permanen untuk menegakkan hukum terhadap pelaku kejahatan ataupun pelanggaran berat terhadap kemanusiaan.

C.2. Pengertian Pertanggungjawaban Komando

Berdasarkan prinsip-prinsip dalam hukum pidana, setiap orang bertanggungjawab secara individual terhadap kejahatan atau tindak pidana yang diperbuatnya. Demikian pula pertanggungjawaban pelaku pelanggaran berat HAM dilakukan secara individual (individual criminal responsibility) baik langsung maupun tidak langsung. Tanggung jawab individual ini dikenakan baik pada mereka yang berada di lapangan maupun mereka yang karena kapasitasnya memikul tanggung jawab komando (command responsibility).
Secara konseptual pertanggungjawaban komando ini dikenakan atas perbuatan yang dilakukan baik secara commissionis maupun omissionis. Bagaimana secara teoritis terutama teori dalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana komando dapat diterangkan. Apakah yang dimaksud dengan perbuatan atau delik commissionis ? Apa pula yang dimaksud dengan delik omissionis ?
Untuk menjawabnya kita bisa melihat mengenai salah satu pembagian jenis delik dalam hukum pidana. Jenis delik tersebut dijelaskan oleh Sudarto sebagai berikut :
Delik commissionis : yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu dengan cara berbuat.
Delik omissionis : yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap suatu perintah, yakni dengan tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan.
Delik commissionis per omissionen commissa : yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat.10

Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Schaffmeister, bahwa delik komisi adalah delik di mana pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang melarang suatu perbuatan tertentu. Sedangkan delik omisi adalah delik yang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, dengan mengancam pidana seseorang yang tidak berbuat. Jadi pelaku delik omisi adalah orang yang tidak melakukan apa yang dia harus perbuat.11
Dengan pembagian jenis delik ini, dapat dilihat bahwa terhadap suatu perbuatan, seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila ia secara aktif melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Selain itu seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana pula apabila ia memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan atau sesuatu yang seharusnya dilakukan, tetapi ia tidak melakukan perbuatan tersebut (by ommission delict).
Namun karena pertanggungjawaban komando merupakan sebuah konsep yang masih relatif baru (terutama di Indonesia), dalam banyak hal sering terjadi mispersepsi atau misinterpretasi.
Beberapa mispersepsi tersebut, menurut Sihombing adalah : a) pertanggungjawaban komando dipandang sama dengan delik omisi; b) pertanggungjawaban komando berkaitan dengan superior order (perintah atasan); c) pertanggungjawaban komando telah didistribusikan kepada komando bersamaan dengan pembagian tugas dan tanggungjawab; dan d) terhadap pertanggungjawaban komando hanya dapat dimintakan terhadap 2 step dari atasan langsung.
Perbedaan antara pertanggungjawaban komando dan perintah atasan adalah sebagai berikut. Dalam pertanggungjawaban komando, walaupun pimpinan tidak melakukan apa-apa tetapi anak buahnya melakukan kejahatan (dalam hubungan tugas) dan tindakan tersebut tidak ada hubungan dengan komandan, komadan dapat dipertanggungjawabkan apabila syarat-syarat tertentu terdapat dalam keadaan yang meliputi kasus tersebut.
Sedangkan dalam perintah atasan atau superior order, anggota atau bawahan dalam hal ini melaksanakan perintah atasan. Komandan melakukan tindakan berupa pemberian perintah kepada anak buahnya untuk melakukan kejahatan. Dalam hal ini komandanlah yang bertanggungjawab.12
Sebelum tahun 1945, anggota atau anak buah yang melaksanakan perintah atasan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena alasan perintah atasan. Namun sejak Nuremberg Tribunal dan Tokyo Tribunal dinyatakan bahwa Perintah Atasan atau Superior Order bukan unsur pemaaf atas kejahatan yang dilakukan anggota atau anak buah, walaupun dapat dipertimbangkan sebagai unsur yang meringankan hukuman.
Dari beberapa pemaparan di atas, doktrin bahwa para komandan militer dan orang lain yang menduduki posisi dan kewenangan yang lebih tinggi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan anak buahnya sudah dimantapkan dalam norma hukum kebiasaan dan perjanjian hukum internasional. Melihat berbagai perumusan tersebut, nampak bahwa pertanggungjawaban pidana ini besumber dari actus reus baik berupa perbuatan positif dari komandan atau superior yang berupa direct command responsibility maupun atas dasar kelalaian yang bersifat omisionis (culpable ommisions).
Dengan demikian seorang komandan atau superior tidak hanya bisa dipertanggungjawabkan hanya karena memerintahkan, menghasut atau merencanakan tindak pidana yang kemudian dilakukan anak buahnya, tetapi ia juga dapat dipertanggungjawabkan karena kegagalan untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah atau menahan perbuatan melawan hukum bawahan tersebut. Jadi singkatnya, selain memerintahkan suatu perbuatan yang melanggar hukum, setiap orang --yang memiliki kewenangan memegang komando-- yang gagal untuk mencegah atau memberikan hukuman atas tindakan ilegal bawahannya dapat dimintai pertangungjawabannya sesuai rantai komando.
Perbedaan diantara kedua tipe pertanggungjawaban ini terletak pada kenyataan bahwa dalam hal perbuatan positif para komandan diikuti oleh apa yang dinamakan ‘principles of accomplice liability’ dalam kerangka tori penyertaan dalam hukum pidana (complicity, deelneming), sedangkan yang kedua berkaitan dengan apa yang dinamakan ‘the principle responsibility for omissions’ yang bisa terjadi apabila terdapat suatu kewajiban hukum untuk berbuat (legal obligation to act).
Mengenai pertanggungjawaban komando, Muladi mengemukakan adanya 3 (tiga) elemen utama, yaitu :13
adanya hubungan antara bawahan-atasan;
atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi atau sedang dilakukan; dan
atasan gagal untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan beralasan untuk mencegah tindak pidana terjadi dan menghukum pelaku.

Selanjutnya dikemukakan pula bahwa, hubungan antara atasan-bawahan sendiri dapat terjadi secara de-jure dan de-facto atau kombinasi diantara keduanya. Jenderal Arne Willy Dahl (2001) memberikan basis filosofi dari tanggungjawab komandan untuk mengendalikan anak buahnya berkaitan dengan nama baik dan reputasi serta kehormatan pasukannya atau bahkan dari negaranya.
Bassiouni mengidentifikasi bahwa : the failure of act depends on knowledge and opportunity to act adalah sebagai berikut :14
in the prevention of the criminal act;
subsequent to the act if the superior failed to supervise, discover and take remedial action as needed under the circumstances; and
prosecute and if found guilty, punish the violator.

Nico Keijzer yang banyak mengkaji pandangan Grotius mengatakan bahwa terdapat 3 (tiga) kondisi pertanggungjawaban komandan atas perbuatan bawahannya, yaitu :
seseorang mempunyai kontrol atas orang lain;
seseorang bertanggungjawab karena tidak melakukan pencegahan kejahatan yang diketahuinya (knowledge); dan
seseorang tidak hanya harus tahu, tetapi harus juga mampu untuk mencegah.

Dalam hal ini komandan tidak harus melihat sendiri terjadinya kekejaman, cukup apabila ia mengetahui bahwa bawahannya sedang dalam proses melakukan kejahatan dan yang bersangkutan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan atau beralasan untuk menjamin ditaatinya hukum perang atau memidana si pelaku.
Sehubungan dengan hal ini, seperti sudah dikemukakan di atas, bila dilihat dari hubungan atasan-anak buah (superior-subordinate), komando dibagi dalam dua jenis, yaitu de jure dan de facto. Komando secara de jure menitikberatkan kepada struktur formal eksekutif, seperti entitas negara. Dalam hal ini, pemegang kekuasaan yang mengeluarkan kebijakan. Sedangkan komando secara de facto menitikberatkan pada kemampuan kontrol secara efektif (duty to control) dari pemegang komando terhadap anak buahnya15, keharusan mengetahui segala tindakan anak buah (had reason to know). Selain itu, kewajibannya (duties) dalam mencegah terjadinya pelanggaran (duty to prevent) dan memberikan penghukuman bagi anak buah yang melanggar peraturan (duty to punish).
Hubungan atasan-anak buah menciptakan sebuah rantai komando. Pemegang komando taktis menjalankan fungsinya secara langsung pasukan yang berada di bawahnya. Sementara pemegang komando tertinggi (executive commanders) --dalam kasus ini bisa presiden atau perdana menteri—seyogyanya harus bertanggungjawab sebagai pemegang kebijakan sipil di pusat. Umumnya, pemegang komando tertinggi adalah penguasa daerah pendudukan yang diberikan kewenangan untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap penduduk sipil di wilayah pendudukan.16 Dengan demikian, mereka ini secara prinsipil, perbuatannya tetap dapat dipertanggungjawabkan.
Harus pula dipahami bahwa pertanggungjawaban komando tidak hanya diterapkan terhadap formal commanders, tetapi juga terhadap orang-orang yang memperoleh suatu posisi informal dalam hal mana ia bisa menggunakan kekuasaannya sebagai seorang komandan, yang sering terjadi dalam perang saudara.17
Sehubungan dengan pembedaan antara superior order dan command responsibility, dalam Article 7(1) ICTY Statute dan Article 6(1) ICTR Statute (secara identik) dibedakan pula antara pertanggungjawaban pidana secara langsung atau direct responsibility. Pengertian direct responsibility adalah:18
A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or execution of a crime . . . shall be individually responsible for the crime.

Dari pengaturan ini dapat dibedakan 5 jenis pertanggungjawaban : dua meliputi pertanggungjawaban yang sifatnya prinsipil dan tiga lagi tambahan (assesoir). Seseorang dapat dinyatakan bersalah apabila ia melakukan (committed) tindak pidana. Selain itu sesorang harus pula bertanggungjawab apabila ia merencanakan (planned) suatu tindak pidana; baik yang dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama. Dari ketentuan ini, pelaku harus dengan sengaja melakukan atau merencanakan tindak pidana atau setidaknya mengetahui bahwa suatu perbuatan pidana akan terjadi sebagai konsekuensi perbuatannya.
Seseorang dapat pula dipertanggungjawabkan perbuatannya berdasarkan interaksinya dengan pelaku lainnya karena ia menghasut (instigating), memerintahkan (ordering), atau membantu (aiding) dan bersekongkol atau bermufakat (abeting) melakukan perbuatan pidana. Pertanggungjawaban yang demikian sifatnya assesori karena seseorang mempercayakan orang lain untuk melakukan tindak pidana. Dengan demikian seorang komandan dapat secara prinsipil dipidana karena secara langsung (direct) melakukan tindak pidana dan secara assesori bertanggungjawab atas perbuatan orang lain (dalam hal ini bawahannya).
Untuk command responsibility, Articles 7(3) and 6(3) dari ICTY and ICTR statutes mengatur secara berbeda karena kadang-kadang yang disebut sebagai command responsibility sering dipersamakan dengan direct responsibility yang sifatnya assesoir seperti disebutkan di atas. Dalam hal ini seseorang yang memegang otoritas sebagai komandan (apakah sebagai pimpinan sipil maupun militer) dapat pula dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya apabila pimpinan tersebut gagal untuk mencegah terjadinya tindak pidana atau gagal untuk menghukum pelaku tindak pidana. Berikut pengaturan Pasal 7(3) and 6(3) dari ICTY and ICTR statutes :
The fact that any of the acts . . . was committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he knew or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof.

Demikian, sekilas mengenai gambaran dari doktrin pertanggungjawaban komando. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pertanggungjawaban komando menjerat dua tindakan yang dilakukan para pemegang komando yaitu pembiaran (ommision) dan tindakan pelanggaran hukum positif (commision) 19. Dalam pertanggungjawaban komando, tidak ada tindakan aktif/positif/komisi. Akan tetapi dalam superior order, ada tindakan aktif/positif/komisi yaitu memberi/memerintahkan bawahan untuk melakukan sesuatu.
Namun perlu pula diungkapkan bahwa untuk dipertanggungjawabkan dengan konsep command responsibility harus kontrol yang efektif dari seorang komandan terhadap perbuatan anak buahnya. Sedangkan kontrol efektif secara umum ditafsirkan sebagai suatu kondisi di mana atasan secara sungguh-sungguh mampu menggunakan kekuasaannya bilamana ia menginginkannya. Dengan demikian istilah ini lebih menunjuk kepada material ability untuk mencegah dan menahan terjadinya tindak pidana. Tentu saja perkecualian bisa terjadi yaitu apabila komandan tidak mempunyai kontrol efektif misalnya karena terputusnya komunikasi, adanya pemberontakan (mutiny) atau sebab-sebab lain yang tidak dapat dihindari.
Dari teori yang berkembang dalam hukum pidana inilah kemudian pertanggungjawaban komando berkembang dalam doktrin dan praktek yang kemudian melembaga secara normatif baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional.


D. PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO DALAM HUKUM HAM INTERNASIONAL DAN DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

D.1. Pengaturan Pertanggungjawaban Komando dalam Hukum HAM Internasional

Dalam instrumen hukum internasional, pertanggungjawaban komando dapat ditemukan dalam Pasal 86 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 (1977), Pasal 6 dari Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind yang disusun oleh Internatonal Law Commission, Pasal 7 (3) Statuta ICTY, Pasal 6 (3) Statuta ICTR dan Pasal 28 (2) Statuta ICC.
Semua instrumen tersebut memberikan kepada para pemegang komando pengaturan supaya bertanggungjawab untuk mencegah anak buahnya dari tindakan pelanggaran hukum HAM serta hukum perang (laws of war) serta bertanggungjawab untuk menghukum anak buahnya jika hukum tersebut dilanggar.
Dalam Pasal 86 ke-2 Additional Protocol atau Protokol Tambahan I tahun 1977 dari Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Korban Perang tanggal 12 Agustus 1949 dinyatakan bahwa :
the fact that a breach of the convention or of this protocol was commited by a subordinate does not absolve hid superior from penal or diciplinary, as the case may be if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time, that he was commiting or was going to commit such a breah and if they do not take all reasible measures within their power to prevent or repress the breach.

Selanjutnya dalam Pasal 87 Additional Protocol I Konvensi Jenewa tersebut dinyatakan pula bahwa :
international law imposes an affirmative duty on superiors to prevent persons under their control from commiting violations of international humanitarian law, and it is ultimately his duty that provides the basis for, and defines the contours of, the imputed criminal responsibility under art 7 (3) of the statute.

Selain itu, pengaturan hukum HAM internasional lain yang mengatur mengenai pertanggungjawaban komando adalah Pasal 28 Statuta Roma tentang International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional. Isi dari pengaturan tersebut adalah sebagai berikut :20
(a) A military commander or person effectively acting as a military commander shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by forces under his or her effective command and control, or effective authority and control as the case may be, as a result of his or her failure to exercise control properly over such forces, where:
(i) That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes; and
(ii) That military commander or person failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.
(b) With respect to superior and subordinate relationships not described in paragraph (a), a superior shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by subordinates under his or her effective authority and control, as a result of his or her failure to exercise control properly over such subordinates, where:
(i) The superior either knew, or consciously disregarded information which clearly indicated, that the subordinates were committing or about to commit such crimes;
(ii) The crimes concerned activities that were within the effective responsibility and control of the superior; and
(iii) The superior failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.

Mengenai pengaturan yang mendasarkan diri pada case law dari dua tribunal yaitu ICTY dan ICTR telah disebutkan di atas, sehingga secara cukup lengkap telah disebutkan pengaturan-pengaturan pertanggungjawaban komando dalam Hukum Ham Internasional yang mendasarkan diri pada case law dari dua tribunal yaitu ICTY dan ICTR, Pasal 86 dan 87 Protokol Tambahan I tahun 1977 dari Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Perang tanggal 12 Agustus 1949 dan Pasal 28 Statuta Roma.

D.2. Pengaturan Pertanggungjawaban Komando dalam Hukum Positif Indonesia

Dalam hukum positif di Indonesia, pertanggungjawaban komando diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang sebenarnya merupakan jiplakan dari isi Statuta ICC. Secara lengkapnya bunyi pengaturan tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :
a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Dalam ayat selanjutnya yaitu ayat (3) Pasal 42 UU Pengadilan HAM disebutkan bahwa perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.

E. PERTANGGUNGJAWABAN ANAK BUAH DAN PERTANGGUNG-JAWABAN KOMANDO

Selain permasalahan mengenai superior order dan command responsibility, salah satu permasalahan yang pelik dan membutuhkan pemikiran adalah berlindungnya anak buah (bawahan) dari pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan melanggar hukum dengan dalih perintah atasan. Demikian pula sebaliknya, atasan yang berlindung terhadap tanggung jawabnya dengan menyatakan bahwa anak buah (bawahan) yang melakukan tindak pidana harus dibuktikan terlebih dahulu dan sudah dipidana.
Untuk penerapan pertanggung-jawaban anak buah (bawahan), pada periode sebelum 1945 anggota atau anak buah yang melanggar hukum atas perintah atasan tidak dipidana. Yang dipidana adalah komandan yang memberi perintah, dengan alasan prajurit wajib untuk patuh kepada perintah komandan. Namun demikian, dalam perkembangannya, apabila prajurit mengetahui bahwa perintah tersebut merupakan kejahatan sipil atau militer maka prajurit tersebut juga dapat dipidana.
Hal ini misalnya dapat dilihat dalam dalam British Manual of Military Law 1944 dalam kutipan di bawah ini:21
Individuals and organizations who violate the accepted laws and customs of war may be punished therefor. How ever, the fact that the acts complained of were done pursuant to order of a superior order or government sanction may be taken into consideration in determining culpability, either by way of defence or in mitigation of punishment.......

Pada periode setelah 1945, negara-negara sekutu dengan negara-negara eks daerah pendudukan mengubah ketentuan perundang-undangannya. Hal ini bertujuan agar dalam pemeriksaan di Mahkamah Militer pelaku kejahatan perang tidak lagi menggunakan ‘perintah atasan’ sebagai alasan pembelaan absolut. Sikap dari Nuremberg Tribunal dapat dilihat dari kutipan berikut:
the official position of defendants, whether as heads of state or responsible officials in government departments, shall not be considered as freeing them from responsibility or mitigating punishment. That the fact the defendant acted pursuant to order of his government or of a superior shall not free him from responsibility, but they may be considered in mitigation or punishment if the tribunal detertmines that justice so requires.

Sementara itu Tokyo Tribunal dengan mengikuti sikap Nuremberg Tribunal menyatakan bahwa superior order bukan unsur pemaaf atas kejahatan yang dilakukan anggota. Akan tetapi hal itu dapat dipertimbangkan sebagai unsur yang meringankan hukuman. Berikut kutipannya:
... The duty to obey... order coming from a higher authority which the accused is by the law and custom of his service obliged to obey... is limited to the observance of orders which are lawful. There is no duty to obey that which is not unlawful order....

Perkembangan paling akhir mengenai tidak dapatnya seorang bawahan berlindung dari pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan melanggar hukum dengan dalih perintah atasan adalah dengan mempertegas hak prajurit untuk menolak perintah (unlawful order) : The right of the soldiers to disobey unlawful order.
Hukum di Indonesia mengatur beberapa hal mengenai ini. Dalam Pasal 51 (1) dan 51 (2) KUHP ditentukan mengenai alasan pembenar dan pemaaf seseorang yang melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh atasannya. Hal inilah yang sering menjadi persoalan dalam praktek.
Pasal 51 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan bahwa : Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang , tidak dipidana.
Demikian pula Pasal 51 (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjelaskan: Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Selain itu dalam Pasal 103 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dinyatakan bahwa militer wajib menaati perintah Dinas. (Perintah Dinas = perintah yang berkaitan dengan tugas dan fungsi TNI). Dalam hal ini tidak dipersoalkan apakah perintah tersebut melanggar hukum atau tidak melanggar hukum (lawful order atau unlawful order). Hal ini ditegaskan ulang dalam Pasal 11 Peraturan Disiplin Tentara (PDT) dengan menyatakan militer wajib menaati perintah berdasarkan kedinasan atau kepentingan tentara baik perintah lisan/tulisan, singkat, lengkap dan jelas. Sementara itu Pasal 12, PDT menyatakan bahwa bawahan harus memahami isi perintah, bertanggungjawab kepada atasan yang memberi perintah dan melaporkan kepada yang memberi perintah22.
Namun demikian menurut PLT Sihombing, seyogyanya ketentuan pasal tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan hukum kebiasaan perang, hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia.
Dengan demikian menurutnya dapat digunakan Pasal 55 (1) ke-1 KUHP yang menyatakan: dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang melakukan yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan. Dengan penggunaan pasal ini maka yang menyuruh melakukan (komandan yang memberi perintah) dan yang disuruh melakukan (anak buah di bawah komando) tetap dapat dipidana.
Inilah pentingnya melakukan pembahasan mengenai perbedaan antara pertanggungjawaban komando (command responsibility) dan perintah atasan (superior order), karena perbedaan itu berkonsekuensi pada dua sistem pemidanaan yang berbeda. Demikian pula pembahasan tentang pertanggungjawaban anak buah (bawahan) di mana perintah atasan tidak dapat lagi dijadikan sebagai alasan untuk melepaskan tanggungjawabnya secara mutlak atau absolut. Namun demikian perlu dipahami bahwa dalam prakteknya memang sulit untuk menerapkan prinsip hak prajurit untuk menolak perintah (unlawful order) : atau the right of the soldiers to disobey unlawful order, karena begitulah terutama isi sumpah dari prajurit (militer), yaitu untuk taat pada perintah atasan.

F. PRINSIP-PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO
Salah satu prinsip penting dari adanya pertanggungjawaban komando adalah dimilikinya legal authority oleh komandan, dengan demikian komandan juga memiliki legal obligation, dengan demikian ada command responsibility. Kewajiban hukum komandan dalam hal ini adalah penggunaan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan kejahatan/pelanggaran HAM, kekuasan tersebut dilalaikan atau gagal digunakan untuk menghentikan (to suppres), mencegah (to prevent), menindak (to reppress), melapor (to report) kejahatan/ pelanggaran HAM.
Selain prinsip penting tersebut, pembahasan prinsip pertanggungjawaban komando dapat dimulai dengan unsur-unsur doktrin pertanggungjawaban komando, yakni:
Adanya hubungan subordinasi antara komandan dan pelaku meliputi hubungan langsung (immediate commander) dan hubungan tidak langsung (mengikuti hierarkhi rantai komando);
Perlu dibuktikan bahwa komandan mengetahui, atau seharusnya mengetahui bahwa pasukan dibawah komandonya sedang, atau akan atau telah melakukan pelanggaran hukum. Namun dalam hal ini perlu pula dibicarakan mengenai kontrol efektif dari komandan terhadap anak buah.
Komandan telah gagal melakukan pencegahan atau menghukum pelaku.23

Sampai di sini muncul persoalan yaitu sampai tingkat komando yang mana dapat diterapkan pertanggungjawaban komando? Dari sudut doktrin, sebenarnya pertanggungjawaban komando dapat diterapkan pada seluruh rantai komando (unity of command). Mengenai hal ini, dalam kaitannya dengan Pasal 87 dan Pasal 86 ke 2 Protokol I Tahun 1977 Konvensi Jenewa ditegaskan mengenai tingkatan responsibility of the commanders yaitu:
...this responsibility applies from the highest to the lowest lebel of the hierarchy, from the commander in chief down to the common soldier who take over as a head of the platoon...

Berdasarkan sejarah perkembangan dapat dilihat bahwa para komandan dapat dituntut pertanggungjawaban komando apabila :24
Ada pelanggaran/kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer di bawah komandonya atau orang-orang yang berada di bawah pengendaliannya.
Pelanggaran tersebut terjadi pada waktu melaksanakan tugas/operasi dalam suatu situasi konflik (internasional atau internal).
Bahwa tanggungjawab komando secara pidana/perdata timbul karena adanya kesalahan komandan militer/sipil yang memiliki kewenangan seperti komando militer yaitu tidak melakukan kewajiban hukumnya berupa penggunaan kekuasaan yang dimilikinya untuk mencegah dan menindak pelaku pelanggaran.
Kekuasaan tersebut adalah kekuasaan menurut hukum yang melahirkan kewajiban hukum.
Kekuasaan tersebut seharusnya mampu untuk mencegah, menghentikan, dan menindak pelaku pelanggaran.
Adanya hubungan subordinasi langsung atau tidak langsung antara komandan dengan pelaku.
Adanya pengetahuan komandan bahwa anak buahnya akan, sedang atau telah melakukan pelanggaran secara aktual ataupun secara konstruktif.
Komandan dengan kekuasaan yang dimilikinya gagal melakukan pencegahan atau menghentikan atau menindak dan menyerahkan pelaku pelanggaran kepada yang berwajib.
Dalam praktek kesulitan yang muncul adalah terlebih dahulu harus ada keputusan pengadilan atas kejahatan yang dilakukan oleh bawahan yaitu bukti ada kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer di bawah komando atau orang yang berada di bawah pengendalian seorang komando. Namun sangat menarik bahwa dalam praktek pemeriksaan kasus Jendral Tomoyuki Yamashita, Admiral Soemu Toyoda, Karadzic, Delalic, Mucic dan Delic, pertanggungjawaban komando diterapkan walaupun tidak ada putusan pengadilan atas pelanggaran yang dilakukan anak buahnya tetapi terdapat bukti-bukti materiil bahwa anak buah di bawah komandonya atau orang yang berada di bawah pengendaliannya telah terlibat melakukan pelanggaran/ kejahatan.

G. PENUTUP
Demikianlah beberapa prinsip serta pengaturan mengenai pertanggungjawaban komando (command responsibility) terhadap pelaku pelanggaran berat Hak Asasi Manusia dalam rangka mencegah terjadinya impunitas atau pembiaran terhadap para pemimpin baik politik maupun militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat HAM. Seperti telah disebutkan di atas pelanggaran berat HAM yang berupa kejahatan genocide, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang saat ini dianggap sebagai musuh umat manusia (hostis humanis generis), sehingga menimbulkan suatu obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional secara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelakunya.
Sebagai negara yang yang telah mengatur jenis pertanggung jawaban komando ini dalam hukum positifnya, Indonesia secara moral maupun secara hukum bertanggung jawab untuk tidak membiarkan terjadinya praktek impunitas terhadap pelaku kasus pelanggaran berat HAM baik yang terjadi pada masa lampau maupun masa depan. Mata dunia internasional terus tertuju melihat keseriusan dan kesungguhan Indonesia untuk mengadili dan menghukum pelaku kasus-kasus pelanggaran berat HAM ini. Pembiaran serta praktek impunitas terhadap pelaku pelanggaran berat HAM akan menjadi preseden buruk serta menusuk rasa keadilan. Adalah tugas kita sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa untuk ikut memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, memberikan perlindungan, kepastian hukum dan keadilan serta perasaan aman kepada seluruh rakyat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.

*****

DAFTAR PUSTAKA

Literatur :

Danner, Allison M. dan Jenny S. Martinez, Guilty Associations: Joint Criminal Enterprise, Command Responsibility and the Development of International Criminal Law, Paper dalam International Law Workshop, University of California, Berkeley, 2004 dari http://repositories.cdlib.org/berkeley ilw/fall2004/3

Kasim, Ifdhal, dalam Elemen-elemen Kejahatan dari ‘Crimes Against Humanity’: Sebuah Penjelasan Pustaka, dalam Jurnal HAM Vol 2 No. 2 Nopember 2004, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004

_________, Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional, Mengadili Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang, Agresi, terjemahan, Jakarta : Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2000
Mahle, Anne E., Command Responsibility - An International Focus dalam http://www.pbs.org/wnet/justice/world_issues_com.html
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Yogyakarta : Gajah Mada University Press, Cetakan Ke XII, 1982
Muladi, Polisi, Hak-hak Asasi Manusia dan Globalisasi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Polisi Indonesia II tentang Pertanggungjawaban Polisi, Semarang, 1996

_________, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum, Jakarta : The Habibie Centre, 2002

Nusantara, Abdul Hakim G., Sebuah Upaya Memutus Impunitas : Tanggung Jawab Komando dalam Pelanggaran Berat HAM, dalam Jurnal HAM Vol 2 No. 2 Nopember 2004, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004

Rusman, Rina, Konsep Pelanggaran Berat HAM Dilihat dari Sisi Hukum Humaniter, dalam Jurnal HAM Vol 2 No. 2 Nopember 2004, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004

Schaffmeister ,D., N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta : Liberty, 1995

Sihombing, P.L.T., Pertanggungjawaban Komando, dalam Jurnal HAM Vol 2 No. 2 Nopember 2004, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan II, Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990
Undang-Undang :

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Internet :

http://www.indonesiahouse.org/focus/militer/060803TNI_aceh_pulaunasi. htm
http://www.sekitarkita.com/comments. php?id=487_0_1_0_M
http://www.pbs.org/wnet/justice/world_issues_com.html
http://www.indonesiahouse.org/focus/militer/060803TNI_aceh_pulaunasi. htm
http://www.un.org/icty
http://www.ictr.org.
http://www.un.org/law/icc/statute/romefra.htm

No comments: