Thursday, April 24, 2008

Mengatur Kejahatan Perang

WACANA yang berkembang di Indonesia mengenai kejahatan perang, terutama di antara para ahli hukum internasional ( humaniter internasional) dan pers, lebih banyak tentang persoalan peperangan seperti terjadi di Irak. Adapun wacana mengenai pengaturan kejahatan perang secara nasional kurang mendapat perhatian para ahli hukum pidana.

Kalangan legislatif mungkin menganggap pemikiran mengenai hal ini tidak terlalu mendesak karena banyak agenda rancangan undang-undang lain. Ketika terjadi konflik bersenjata dan penetapan situasi darurat militer di Aceh, mungkin dianggap tidak terlalu menguntungkan mengedepankan masalah ini secara politis.

Namun pembahasan secara akademis sampai ke pembuatan draf akademis mengenai kejahatan perang cukup penting dibahas. Mengingat, perlu perlindungan terhadap ancaman keselamatan individu dan kolektif dari guncangan nilai-nilai kemanusiaan akibat peperangan.

Peningkatan penderitaan manusia terus-menerus yang ditimbulkan oleh perang atau sengketa bersenjata mengarah ke perubahan tetap dalam kodifikasi peraturan yang berkait dengan tindakan permusuhan dan perlindungan terhadap korban.

Dalam perkembangan ide mengadili orang-orang yang terlibat dalam kekejaman dan pelanggaran berat hak asasi manusia telah dimulai sejak lama dengan mendasarkan diri pada standar nilai serta norma kemanusiaan yang bersumber dari nilai-nilai filsafat dan agama yang diyakini saat itu.

Pada tahun 1474, misalnya, Pengadilan Internasional menjatuhkan hukuman mati kepada Peter von Hagenbach, pelaku kekejaman saat pendudukan Breisach. Dalam perang saudara utara-selatan di Amerika, Abraham Lincoln juga melarang perilaku tidak manusiawi dan mengancam dengan pidana, termasuk pidana mati, terhadap para pelaku. Jadi sebenarnya hukum perang sama tuanya dengan perang itu sendiri.

Pada tahun 1864 diselenggarakan konferensi di Jenewa tentang nasib para prajurit yang terluka di medan perang. Konferensi lain diadakan di St Pittersburg tahun 1866 untuk melarang penggunaan proyektil yang meledak dengan berat kurang dari 400 gram.

Dua konferensi internasional itu menandai titik awal kodifikasi hukum perang pada zaman modern. Konferensi-konferensi itu disusul dua konferensi perdamaian pada tahun 1899 dan 1907 di Den Haag, dengan tujuan utama mengatur cara dan alat perang. Dalam konvensi, misalnya, ditegaskan betapa penting perlindungan terhadap penduduk sipil, kehidupan manusia, hak milik pribadi, hak dan kehormatan keluarga, serta keyakinan agama.

Baik penduduk sipil maupun pihak yang berperang tetap harus mendapatkan perlindungan atas dasar asas hukum internasional yang berlaku sebagai kebiasaan dalam masyarakat beradab, hukum kemanusiaan, dan hati nurani. Namun konvensi itu lebih diarahkan ke kewajiban dan tugas negara, dan tidak dimaksudkan untuk mengatur pertanggungjawaban pidana secara individual.

Tragedi mengerikan di medan tempur Solferino mencuatkan gagasan pendirian Palang Merah. Sejak saat itu hukum perang dikembangkan terus-menerus untuk memperluas lingkup perlindungan terhadap para korban dan menyesuaikannya dengan kenyataan sengketa baru.

Pertemuan penting berikutnya yang menghasilkan instrumen internasional baru adalah Konvensi Jenewa (Geneva Convention) 1949 beserta empat protokol tahun 1977 yang mencakup perlindungan terhadap korban perang.

Dalam konvensi itu disyaratkan perlindungan terhadap orang yang terluka dan sakit, korban karam, tawanan perang, dan orang sipil. Diatur pula dalam protokol yang sangat relevan bagi para komandan dan militer, peraturan tentang penggunaan cara dan alat tempur yang tercantum dalam konvensi Den Haag. Juga penetakan batas-batas untuk menghindari penderitaan dan kerusakan yang tidak perlu.

Pengaturan mengenai kejahatan perang telah pula dimasukkan dalam Rome Statute 1998 mengenai International Criminal Court dengan dua dokumen terkait. Yakni, dokumen elements of crimes dan rule of procedures and evidence yang harus dianggap melekat dengan Rome Statute 1998.

Selain itu asas-asas umum dan opini para juri dapat pula dianggap sebagai sumber hukum. Walau, harus dirumuskan lebih dahulu dalam konvensi internasional dengan pertimbangan-pertimbangan empiris dan kebiasaan-kebiasaan internasional.

Dalam Rome Statute 1998, kejahatan perang dimasukkan sebagai salah satu tindak pidana, selain kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan kejahatan agresi.

Hukum Positif

Secara historis sebenarnya di Indonesia pernah dikeluarkan beberapa ordonansi yang berhubungan dengan kejahatan perang oleh Pemerintah Belanda. Yakni, Staatsblad 1946 Nomor 44, 45, 46, 47, dan 48. Secara berturut-turut itu berisi perumusan pengertian kejahatan perang, hukum pidana kejahatan perang, kekuasaan mengadili kejahatan perang, pelaksanaan hukum kejahatan perang, serta perubahan terhadap pengaturan umum mengenai kecelakaan perang.

Namun berdasar UU Nomor 1 Tahun 1946 jo UU Nomor 73 Tahun 1958, peraturan hukum pidana yang berlaku adalah peraturan hukum pidana yang ada pada 8 Maret 1942 (peraturan sebelum pendudukan balatentara Jepang di Indonesia). Dengan demikian, ordonansi-ordonansi tersebut tak berlaku di wilayah Republik Indonesia saat ini.

Dalam KUHP belum ada kualifikasi tindak pidana yang disebut kejahatan perang. Namun ada perumusan tindak pidana yang berkait dengan perang atau yang dilakukan pada masa perang, antara lain seperti diatur dalam Pasal 111 Ayat (1) yaitu melakukan hubungan dengan negara asing dengan maksud menggerakkan untuk melakukan perang.

Pasal 122 (1) dan (2) mengatur tentang perbuatan yang membahayakan kenetralan negara dalam masa perang yang tidak melibatkan Indonesia dan melanggar aturan pemerintah dalam masa perang. Pasal 123 soal dengan sukarela masuk tentara asing yang sedang berperang dengan Indonesia

Pasal 124 (1) dan Pasal 124 (2) Butir ke-1 dan ke-2 soal pemberian bantuan kepada musuh, memberitahukan peta/rencana/gambar bangunan tentara kepada musuh, serta menjadi mata-mata musuh dan memberikan pondokan. Pasal 124 (3) Butir ke-2 melancarkan huru-hara, pemberontakan serta disersi pada masa perang serta pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan seperti tersebut dalam Pasal 124 serta Pasal 126 dan Pasal 127, yaitu pada masa perang dengan tidak bermaksud membantu musuh, memberikan pondokan/menyembunyikan mata-mata musuh, serta menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan AL/AD.

Konvensi Jenewa

Untuk instrumen internasional, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dan menjadi peserta (pihak) Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang (International Conventions for the Protection of Victims of War) dengan cara aksesi berdasar UU Nomor 59 Tahun 1958 mengenai keikutsertaan RI dalam keempat konvensi tersebut.

Dalam konvensi tersebut Pasal 49 dan 50 juga dimasukkan beberapa pengaturan mengenai tindakan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran. Dalam Pasal 49 dinyatakan peserta agung berjanji menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan salah satu di antara pelanggaran berat (grave breaches) dalam konvensi. Dengan kewajiban, mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan pelanggaran berat atau segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan konvensi.

Dalam Pasal 50 dinyatakan pelanggaran tersebut meliputi perbuatan apabila dilakukan terhadap orang atau milik yang dilindungi konvensi, pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta penghancuran yang luas dan tindakan perampasan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum dan semena-mena.

Salah satu formulasi kebijakan yang ada saat ini adalah UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebenarnya sebagian sudah dimaksudkan untuk mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam Rome Statute 1998 mengenai international criminal court yang dalam penjelasan Pasal 7 UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dinyatakan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dimaksud dalam Pasal 7 sesuai dengan ketentuan Rome Statute Pasal 6 dan Pasal 7.

Namun walau terhadap kedua jenis kejahatan ini dianggap sebagai kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma, sangat disayangkan undang-undang ini tidak sekaligus memasukkan formulasi atau jenis kejahatan perang (serta kejahatan agresi) ke dalamnya sebagaimana dimaksud dalam Rome Statute tersebut.

Masa Datang

Seperti pengaturan delik-delik lain, dalam membicarakan pengaturan (kajian formulasi) kejahatan perang ini untuk masa akan datang (ius constituendum) tidak cukup membahas pengaturan mengenai hukum pidana materiil (substantif) mengenai delik-delik kejahatan perang saja. Namun perlu pula membicarakan aturan hukum pidana formal serta aturan hukum pelaksanaan/eksekusi pidana secara bersama-sama.

Untuk kajian hukum materiil/substantifnya, perlu pengajian dan perumusan tiga substansi pokok baik yang menyangkut perumusan tindak pidana maupun pertanggungjawaban dan sistem pemidanaan serta pidana.

Sebagai alternatif penempatan dan pengaturannya, Barda Nawawi Arief dalam diskusi terbatas di Semarang mengemukakan pengaturan tentang kejahatan perang dapat ditempatkan/diintegrasikan 1) dalam KUHP yang saat ini berlaku, 2) ditempatkan/diintegrasikan dalam UU di luar KUHP yang ada saat ini, misalnya dengan amandemen UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang sebenarnya telah mengatur pelanggaran hak asasi manusia berat berupa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, 3) diatur/ditempatkan tersendiri dalam UU (di luar KUHP), serta 4) ditempatkan dalam KUHP yang akan datang sebagai upaya serta wujud kebijakan kodifikasi yang menyeluruh.

Mengingat betapa penting pengaturan kejahatan perang pada masa yang datang sehubungan dengan pentingnya perlindungan terhadap korban, yaitu penduduk sipil, kehidupan manusia, hak milik pribadi, hak dan kehormatan keluarga, serta perlindungan terhadap keselamatan dan kerusakan lingkungan sebagai akibat perang serta penghormatan dan pengakuan terhadap kebiasaan-kebiasaan di masyarakat beradab, sepantasnya dipikirkan memformulasi pengaturan kejahatan perang dalam perundang-undangan nasional untuk masa datang dengan mengadakan kajian, penelitian, seminar dan lokakarya dengan mengikutsertakan seluruh komponen masyarakat secara menyeluruh. (18g)

-Marcella Elwina S, dosen Fakultas Hukum Unika Soegijapranata


Suara Merdeka, Sabtu 20 Desember 2003

No comments: