Thursday, May 1, 2008

HAM

BEBERAPA PRINSIP DAN PENGATURAN
PERTANGGUNG-JAWABAN KOMANDO DALAM KASUS PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA•
Oleh : Marcella Elwina S.


ABSTRAK

Paper ini berusaha mengungkapkan beberapa prinsip serta pengaturan mengenai pertanggungjawaban komando (command responsibility) terhadap pelaku pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang telah diatur baik dalam beberapa instrumen internasional maupun dalam hukum positif di Indonesia. Pertanggung-jawaban komando sendiri diatur baik dalam hukum HAM Internasional atau Hukum Positif di Indonesia dalam rangka mencegah terjadinya impunitas atau pembiaran terhadap para pemimpin baik politik maupun militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat HAM seperti kejahatan genocide, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang yang dianggap sebagai musuh umat manusia (hostis humanis generis), yang karenanya menimbulkan suatu obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional secara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelakunya. Di era global, di mana laju informasi sangat mudah diperoleh, mata dunia internasional terus tertuju melihat keseriusan Indonesia untuk mengadili dan menghukum pelaku kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Oleh karenanya harus ada kesungguhan dan keseriusan dari peradilan untuk mengadili para pelaku pelanggaran berat HAM di Indonesia baik yang terjadi pada masa lampau, masa kini serta masa datang.


A. PENDAHULUAN

Hak Asasi Manusia (human rights) adalah hak-hak yang melekat secara inherent pada setiap manusia oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi ataupun dirampas oleh siapapun. Tanpa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya maka manusia akan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Dengan demikian hak asasi manusia wajib dilindungi baik oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Oleh masyarakat dunia, perumusan serta pengakuan terhadap hak asasi manusia ini telah diperjuangkan dalam kurun waktu yang sangat panjang, bahkan sampai saat ini. Namun demikian dapat dikatakan bahwa titik kulminasi perjuangan umat manusia dalam memperjuangkan HAM adalah dengan lahirnya The Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 setelah menyaksikan kekejaman perang masa lalu.
Di Indonesia masalah HAM sebenarnya telah mengakar budaya secara kuat karena negara Republik Indonesia terbentuk sebagai reaksi terhadap pelanggaran HAM yang absolut berupa penjajahan selama kurun waktu lebih dari 350 tahun. Sebagai bukti, beberapa permasalahan dasar mengenai hak asasi manusia misalnya sejak awal telah dimasukkan oleh para pendiri bangsa dalam Undang-undang Dasar 1945. Hal ini diperkuat dengan amandemen terhadap UUD 1945 dalam beberapa tahun terakhir ini.
Dalam sejarah, bangsa Indonesia mencatat pula berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku diskriminatif baik yang bersifat vertikal yang dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara maupun sebaliknya ataupun yang bersifat horizontal yaitu antar warga negara sendiri. Banyak pula diantaranya yang masuk dalam pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights).
Perkembangan lain mengenai promosi dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia adalah dengan diundangkannya Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedua undang-undang sendiri lahir sebagai akibat keruntuhan rezim Orde Baru, serta untuk menjawab tantangan zaman yaitu melakukan adaptasi dengan nilai-nilai universal atau nilai-nilai internasional yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa1.
Sejak diundangkannya dua undang-undang tersebut, terminologi-terminologi seperti ‘pelanggaran berat hak asasi manusia’ (gross violation of human rights), genocide, crime against humanity, command responsibility telah masuk secara formal menjadi bagian dari leksikon hukum di Indonesia. Kedua UU ini sendiri dapat dianggap sebagai tonggak pencapaian reformasi yang penting yang bukan saja telah dan diharapkan akan menyeret para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia (yang kebanyakan state officials) ke depan pengadilan, tetapi juga menubuhkan (imposing)2 konsep-konsep atau terminologi hukum yang belum dikenal dalam tubuh hukum positif di Indonesia seperti genocide, crime against humanity, command responsibility, beserta beragam konsep turunan yang terkandung di dalamnya.
Secara internasional, khusus untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, oleh masyarakat internasional telah disetujui di Roma sebuah instrumen yang dapat mengadili pelaku atau individu-individu pelanggar HAM berat yaitu International Criminal Court yang sering disebut sebagai Rome Statute pada tahun 1998. Norma-norma di dalam Rome Statute ini merupakan kodifikasi dari hukum (pidana) internasional. Praktek-praktek internasional menunjukan pula bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan pelanggaran terhadap ius cogens baik bila dilihat dalam hukum kebiasaan internasional (international customary law), menurut beberapa konvensi atau instrumen internasional serta menurut prisip-prinsip hukum umum (general principles of law recognized by civilized nations).
Mengingat bahwa pelanggaran berat HAM adalah kejahatan yang menimbulkan ketegangan dan sangat meresahkan masyarakat dan bangsa-bangsa dan merupakan kejahatan yang sangat serius, maka pelanggaran berat atau kejahatan HAM ini kemudian dianggap menjadi musuh umat manusia (hostis humanis generis)3. Dengan demikian, kejahatan semacam ini menimbulkan obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional secara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelakunya. Oleh karena itu, untuk kejahatan terhadap kemanusiaan berlaku prinsip yurisdiksi universal. Setiap negara dapat mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di manapun dan dilakukan oleh warga negara lain.

B. PENGERTIAN DAN PENGATURAN PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA

Sebagai bagian dari hukum nasional, hak asasi manusia biasanya diatur dalam bidang hukum publik yang mengatur hubungan antara negara dengan masyarakat atau warga masyarakatnya. Dengan melihat isi dari UU HAM dan UU Pengadilan HAM, kita dapat membedakan perlindungan hak asasi manusia dengan perlindungan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan UU ini pelanggaran yang dapat diselesaikan oleh mekanisme hukum lainnya, seperti misalnya pelanggaran hukum pidana atau pelanggaran hukum tata usaha negara tidak akan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.
Pembedaan tersebut, antara lain dapat dilihat dari definisi pelanggaran HAM. Disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang berat diatur dalam Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 yaitu pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).
Sebagai kelanjutan dan amanat UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun, dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang bertitik tolak dari perkembangan hukum, kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, dalam rangka menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia.
Dalam Penjelasan Umum UU Pengadilan HAM dinyatakan bahwa Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan extra ordinary crimes dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Berbeda dengan pengertian pelanggaran HAM berat dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pengertian pelanggaran HAM berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 7 meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.4
Ada perbedaan pengaturan jenis pelanggaran HAM berat dalam Statuta Roma maupun UU Pengadilan HAM. Dalam UU Pengadilan HAM, pelanggaran HAM berat hanya meliputi 2 jenis kejahatan yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma ada 4 (empat). Keempat jenis kejahatan tersebut meliputi kejahatan genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (agression crimes) yang dianggap sebagai the most serious crimes of international concern (kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional).5
Selanjutnya untuk tidak membiarkan paper ini berbicara terlalu luas, paper ini akan memfokuskan diri pada pemaparan mengenai salah satu konsep pertanggungjawaban terhadap pelaku pelanggaran berat HAM yaitu pertanggung-jawaban komando (command responsibility). Konsep atau pengaturan mengenai ‘command responsibility’ ini sendiri dimasukkan dan diatur baik dalam hukum HAM internasional atau Hukum Positif di Indonesia dalam rangka mencegah terjadinya impunitas atau pembiaran terhadap para pemimpin baik politik maupun militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat HAM seperti kejahatan genocide, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang.

C. SEJARAH PENGATURAN DAN PENGERTIAN PERTANGGUNG-JAWABAN KOMANDO

C.1. Sejarah Pengaturan Pertanggungjawaban Komando

Diskursus mengenai doktrin ‘pertanggungjawaban komando’ dalam hukum (terutama hukum pidana) dan dalam kejahatan HAM berat akan selalu menarik mengingat perkembangannya yang penuh perdebatan baik dalam hukum nasional maupun dalam hukum internasional.
Dalam literatur kita dapat melihat bahwa pertanggungjawaban para pemimpin politik dan militer terhadap kejahatan berat HAM dalam dunia internasional mulai hangat dibicarakan sejak meletusnya Perang Dunia I. Bahkan melihat sejarah sebelumnya, sebenarnya pertanggungjawaban ini telah dikenal sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun dalam prakteknya, memang praktek impunitas terhadap para pelaku pelanggaran berat HAM ini masih saja terjadi.
Pada kira-kira tahun 500 BC, Sun Tzu menulis dalam ‘the Art of War’ bahwa : when troops flee, are insubordinate, distressed, collapse in disorder, or are routed, it is the fault of the general. None of these disorders can be attributed to natural causes. Demikian pula Napoleon Bonaparte menegaskan bahwa : there are no bad regiments, they are only bad colonels. King Charles VII of Orleans misalnya mengeluarkan dekrit yang berbunyi : komandan militer dapat dipertanggungjawabkan bilamana dalam komandonya terjadi kejahatan terjhadap penduduk sipil, tidak peduli apakah komandan tersebut berpartisipasi dalam pelaksanaan kejahatan.
Hugo Grotius dalam bukunya De Jure Belli Ac Pacis (1615) menegaskan pula mengenai doktrin ini dengan menyatakan bahwa : we must accept the principle that he who knows of a crime, and is able and bound to prevent it and fails to do so, himself commits a crime. Dalam periode yang hampir bersamaan (1621), King Gustavus Adolphus dari Swedia menyatakan pula bahwa: no colonels or captain shall command his soldiers to do any unlawfull thing which who so does, shall be punished according to the discretion of the judges...6
Setelah Perang Dunia I, dalam Treaty of Versailles atau Konferensi Perdamaian Versailles dirumuskan sebuah rekomendasi untuk mengakhiri impunitas yang dinikmati oleh para pemimpin politik maupun militer yang melakukan kejahatan perang. Rekomendasi ini menyatakan bahwa : semua orang dari negara musuh7, bagaimanapun tingginya posisi mereka, tanpa membedakan pangkat maupun posisi, termasuk jabatan Kepala Negara yang bersalah melakukan keejahatan melawan hukum dan kejahatan terhadap hukum kebiasaan perang atau hukum kemanusiaan, dapat dikenai tuntutan.
Seusai Perang Dunia II, melalui Piagam Pengadilan Nuremberg, negara-negara pemenang perang berhasil mencapai kesepakatan untuk mengadili para jenderal dan pemimpin Nazi. Piagam Nuremberg ini bisa dikatakan merupakan langkah awal berakhirnya impunitas terhadap pemimpin politik maupun militer yang melakukan pelanggaran berat HAM. Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg menyebutkan prinsip hukum sebagai berikut :8
Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengasingan dan tindakan lain yang sangat kejam, yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum perang atau selama perang, atau kekerasan-kekerasan dan penyiksaan atas dasar politik, rasial atau alasan-alasan keagamaan menjadi yurusdiksi pengadilan, entah bertentangan dengan hukum nasional atau tidak dari negara di mana kejahatan itu dilakukan pemimpin-pemimpin, organisator-organisator, penghasut-penghasut, antek-antek yang terlibat ketika menyusun, melaksanakan rencana bersama atau berkonspirasi untuk melaksanakan kejahatan-kejahatan yang bersangkutan, bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang ada dalam rencana tersebut.

Prinsip pertanggungjawaban komando ini ditegaskan pula oleh Pengadilan Tokyo yang mengadili Jenderal Yamashita yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Amerika yang menyatakan :
Seorang penguasa wilayah, bertanggungjawab penuh secara individual dalam memberikan perintah yang keliru untuk melakukan kejahatan. Tanggungjawab itu juga mencakup kegagalan untuk mencegah tingkah laku yang melanggar hukum dari bawahannya, jika ia mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan anak buahnya itu mendatangkan kejahatan, dan tidak dilakukan upaya pencegahannya atau menghukum mereka yang melakukan kejahatan.

Diskursus mengenai command responsibility menghangat kembali setelah Pasal 7 Statute of the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (1993) dan Pasal 6 Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (1994)9 mengatur mengenai hal ini. Dalam Pasal 7 ICTY misalnya ditegaskan bahwa :
a person who planned, instigated, ordered, commited or otherwise aided and abbeted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in the art. 2 to 5 of the present statute, shall be individually responsible for the crime;
the official position of any accused person, whether as a Head of State or Government official, shall not relieve such person of criminal responsibility nor mitigate punishment;
the fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present statue was commited by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he know or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof;
the fact that an accused person acted pursuant to an order of a Government or of Superior shall not relieve him of criminal responsibility but may be considered in mitigation of punishment if the International Tribunal determines that justice requires.

Demikian sejarah mengenai pertanggungjawaban komando, yang kemudian dimasukkan dalam Pasal 28 Statuta Roma tentang International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional yang dianggap sebagai karya agung bangsa-bangsa dalam menegakkan hukum HAM intenasional, yang selanjutnya merupakan pengadilan internasional yang permanen untuk menegakkan hukum terhadap pelaku kejahatan ataupun pelanggaran berat terhadap kemanusiaan.

C.2. Pengertian Pertanggungjawaban Komando

Berdasarkan prinsip-prinsip dalam hukum pidana, setiap orang bertanggungjawab secara individual terhadap kejahatan atau tindak pidana yang diperbuatnya. Demikian pula pertanggungjawaban pelaku pelanggaran berat HAM dilakukan secara individual (individual criminal responsibility) baik langsung maupun tidak langsung. Tanggung jawab individual ini dikenakan baik pada mereka yang berada di lapangan maupun mereka yang karena kapasitasnya memikul tanggung jawab komando (command responsibility).
Secara konseptual pertanggungjawaban komando ini dikenakan atas perbuatan yang dilakukan baik secara commissionis maupun omissionis. Bagaimana secara teoritis terutama teori dalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana komando dapat diterangkan. Apakah yang dimaksud dengan perbuatan atau delik commissionis ? Apa pula yang dimaksud dengan delik omissionis ?
Untuk menjawabnya kita bisa melihat mengenai salah satu pembagian jenis delik dalam hukum pidana. Jenis delik tersebut dijelaskan oleh Sudarto sebagai berikut :
Delik commissionis : yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu dengan cara berbuat.
Delik omissionis : yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap suatu perintah, yakni dengan tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan.
Delik commissionis per omissionen commissa : yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat.10

Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Schaffmeister, bahwa delik komisi adalah delik di mana pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang melarang suatu perbuatan tertentu. Sedangkan delik omisi adalah delik yang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, dengan mengancam pidana seseorang yang tidak berbuat. Jadi pelaku delik omisi adalah orang yang tidak melakukan apa yang dia harus perbuat.11
Dengan pembagian jenis delik ini, dapat dilihat bahwa terhadap suatu perbuatan, seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila ia secara aktif melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Selain itu seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana pula apabila ia memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan atau sesuatu yang seharusnya dilakukan, tetapi ia tidak melakukan perbuatan tersebut (by ommission delict).
Namun karena pertanggungjawaban komando merupakan sebuah konsep yang masih relatif baru (terutama di Indonesia), dalam banyak hal sering terjadi mispersepsi atau misinterpretasi.
Beberapa mispersepsi tersebut, menurut Sihombing adalah : a) pertanggungjawaban komando dipandang sama dengan delik omisi; b) pertanggungjawaban komando berkaitan dengan superior order (perintah atasan); c) pertanggungjawaban komando telah didistribusikan kepada komando bersamaan dengan pembagian tugas dan tanggungjawab; dan d) terhadap pertanggungjawaban komando hanya dapat dimintakan terhadap 2 step dari atasan langsung.
Perbedaan antara pertanggungjawaban komando dan perintah atasan adalah sebagai berikut. Dalam pertanggungjawaban komando, walaupun pimpinan tidak melakukan apa-apa tetapi anak buahnya melakukan kejahatan (dalam hubungan tugas) dan tindakan tersebut tidak ada hubungan dengan komandan, komadan dapat dipertanggungjawabkan apabila syarat-syarat tertentu terdapat dalam keadaan yang meliputi kasus tersebut.
Sedangkan dalam perintah atasan atau superior order, anggota atau bawahan dalam hal ini melaksanakan perintah atasan. Komandan melakukan tindakan berupa pemberian perintah kepada anak buahnya untuk melakukan kejahatan. Dalam hal ini komandanlah yang bertanggungjawab.12
Sebelum tahun 1945, anggota atau anak buah yang melaksanakan perintah atasan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena alasan perintah atasan. Namun sejak Nuremberg Tribunal dan Tokyo Tribunal dinyatakan bahwa Perintah Atasan atau Superior Order bukan unsur pemaaf atas kejahatan yang dilakukan anggota atau anak buah, walaupun dapat dipertimbangkan sebagai unsur yang meringankan hukuman.
Dari beberapa pemaparan di atas, doktrin bahwa para komandan militer dan orang lain yang menduduki posisi dan kewenangan yang lebih tinggi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan anak buahnya sudah dimantapkan dalam norma hukum kebiasaan dan perjanjian hukum internasional. Melihat berbagai perumusan tersebut, nampak bahwa pertanggungjawaban pidana ini besumber dari actus reus baik berupa perbuatan positif dari komandan atau superior yang berupa direct command responsibility maupun atas dasar kelalaian yang bersifat omisionis (culpable ommisions).
Dengan demikian seorang komandan atau superior tidak hanya bisa dipertanggungjawabkan hanya karena memerintahkan, menghasut atau merencanakan tindak pidana yang kemudian dilakukan anak buahnya, tetapi ia juga dapat dipertanggungjawabkan karena kegagalan untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah atau menahan perbuatan melawan hukum bawahan tersebut. Jadi singkatnya, selain memerintahkan suatu perbuatan yang melanggar hukum, setiap orang --yang memiliki kewenangan memegang komando-- yang gagal untuk mencegah atau memberikan hukuman atas tindakan ilegal bawahannya dapat dimintai pertangungjawabannya sesuai rantai komando.
Perbedaan diantara kedua tipe pertanggungjawaban ini terletak pada kenyataan bahwa dalam hal perbuatan positif para komandan diikuti oleh apa yang dinamakan ‘principles of accomplice liability’ dalam kerangka tori penyertaan dalam hukum pidana (complicity, deelneming), sedangkan yang kedua berkaitan dengan apa yang dinamakan ‘the principle responsibility for omissions’ yang bisa terjadi apabila terdapat suatu kewajiban hukum untuk berbuat (legal obligation to act).
Mengenai pertanggungjawaban komando, Muladi mengemukakan adanya 3 (tiga) elemen utama, yaitu :13
adanya hubungan antara bawahan-atasan;
atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi atau sedang dilakukan; dan
atasan gagal untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan beralasan untuk mencegah tindak pidana terjadi dan menghukum pelaku.

Selanjutnya dikemukakan pula bahwa, hubungan antara atasan-bawahan sendiri dapat terjadi secara de-jure dan de-facto atau kombinasi diantara keduanya. Jenderal Arne Willy Dahl (2001) memberikan basis filosofi dari tanggungjawab komandan untuk mengendalikan anak buahnya berkaitan dengan nama baik dan reputasi serta kehormatan pasukannya atau bahkan dari negaranya.
Bassiouni mengidentifikasi bahwa : the failure of act depends on knowledge and opportunity to act adalah sebagai berikut :14
in the prevention of the criminal act;
subsequent to the act if the superior failed to supervise, discover and take remedial action as needed under the circumstances; and
prosecute and if found guilty, punish the violator.

Nico Keijzer yang banyak mengkaji pandangan Grotius mengatakan bahwa terdapat 3 (tiga) kondisi pertanggungjawaban komandan atas perbuatan bawahannya, yaitu :
seseorang mempunyai kontrol atas orang lain;
seseorang bertanggungjawab karena tidak melakukan pencegahan kejahatan yang diketahuinya (knowledge); dan
seseorang tidak hanya harus tahu, tetapi harus juga mampu untuk mencegah.

Dalam hal ini komandan tidak harus melihat sendiri terjadinya kekejaman, cukup apabila ia mengetahui bahwa bawahannya sedang dalam proses melakukan kejahatan dan yang bersangkutan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan atau beralasan untuk menjamin ditaatinya hukum perang atau memidana si pelaku.
Sehubungan dengan hal ini, seperti sudah dikemukakan di atas, bila dilihat dari hubungan atasan-anak buah (superior-subordinate), komando dibagi dalam dua jenis, yaitu de jure dan de facto. Komando secara de jure menitikberatkan kepada struktur formal eksekutif, seperti entitas negara. Dalam hal ini, pemegang kekuasaan yang mengeluarkan kebijakan. Sedangkan komando secara de facto menitikberatkan pada kemampuan kontrol secara efektif (duty to control) dari pemegang komando terhadap anak buahnya15, keharusan mengetahui segala tindakan anak buah (had reason to know). Selain itu, kewajibannya (duties) dalam mencegah terjadinya pelanggaran (duty to prevent) dan memberikan penghukuman bagi anak buah yang melanggar peraturan (duty to punish).
Hubungan atasan-anak buah menciptakan sebuah rantai komando. Pemegang komando taktis menjalankan fungsinya secara langsung pasukan yang berada di bawahnya. Sementara pemegang komando tertinggi (executive commanders) --dalam kasus ini bisa presiden atau perdana menteri—seyogyanya harus bertanggungjawab sebagai pemegang kebijakan sipil di pusat. Umumnya, pemegang komando tertinggi adalah penguasa daerah pendudukan yang diberikan kewenangan untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap penduduk sipil di wilayah pendudukan.16 Dengan demikian, mereka ini secara prinsipil, perbuatannya tetap dapat dipertanggungjawabkan.
Harus pula dipahami bahwa pertanggungjawaban komando tidak hanya diterapkan terhadap formal commanders, tetapi juga terhadap orang-orang yang memperoleh suatu posisi informal dalam hal mana ia bisa menggunakan kekuasaannya sebagai seorang komandan, yang sering terjadi dalam perang saudara.17
Sehubungan dengan pembedaan antara superior order dan command responsibility, dalam Article 7(1) ICTY Statute dan Article 6(1) ICTR Statute (secara identik) dibedakan pula antara pertanggungjawaban pidana secara langsung atau direct responsibility. Pengertian direct responsibility adalah:18
A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or execution of a crime . . . shall be individually responsible for the crime.

Dari pengaturan ini dapat dibedakan 5 jenis pertanggungjawaban : dua meliputi pertanggungjawaban yang sifatnya prinsipil dan tiga lagi tambahan (assesoir). Seseorang dapat dinyatakan bersalah apabila ia melakukan (committed) tindak pidana. Selain itu sesorang harus pula bertanggungjawab apabila ia merencanakan (planned) suatu tindak pidana; baik yang dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama. Dari ketentuan ini, pelaku harus dengan sengaja melakukan atau merencanakan tindak pidana atau setidaknya mengetahui bahwa suatu perbuatan pidana akan terjadi sebagai konsekuensi perbuatannya.
Seseorang dapat pula dipertanggungjawabkan perbuatannya berdasarkan interaksinya dengan pelaku lainnya karena ia menghasut (instigating), memerintahkan (ordering), atau membantu (aiding) dan bersekongkol atau bermufakat (abeting) melakukan perbuatan pidana. Pertanggungjawaban yang demikian sifatnya assesori karena seseorang mempercayakan orang lain untuk melakukan tindak pidana. Dengan demikian seorang komandan dapat secara prinsipil dipidana karena secara langsung (direct) melakukan tindak pidana dan secara assesori bertanggungjawab atas perbuatan orang lain (dalam hal ini bawahannya).
Untuk command responsibility, Articles 7(3) and 6(3) dari ICTY and ICTR statutes mengatur secara berbeda karena kadang-kadang yang disebut sebagai command responsibility sering dipersamakan dengan direct responsibility yang sifatnya assesoir seperti disebutkan di atas. Dalam hal ini seseorang yang memegang otoritas sebagai komandan (apakah sebagai pimpinan sipil maupun militer) dapat pula dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya apabila pimpinan tersebut gagal untuk mencegah terjadinya tindak pidana atau gagal untuk menghukum pelaku tindak pidana. Berikut pengaturan Pasal 7(3) and 6(3) dari ICTY and ICTR statutes :
The fact that any of the acts . . . was committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he knew or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof.

Demikian, sekilas mengenai gambaran dari doktrin pertanggungjawaban komando. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pertanggungjawaban komando menjerat dua tindakan yang dilakukan para pemegang komando yaitu pembiaran (ommision) dan tindakan pelanggaran hukum positif (commision) 19. Dalam pertanggungjawaban komando, tidak ada tindakan aktif/positif/komisi. Akan tetapi dalam superior order, ada tindakan aktif/positif/komisi yaitu memberi/memerintahkan bawahan untuk melakukan sesuatu.
Namun perlu pula diungkapkan bahwa untuk dipertanggungjawabkan dengan konsep command responsibility harus kontrol yang efektif dari seorang komandan terhadap perbuatan anak buahnya. Sedangkan kontrol efektif secara umum ditafsirkan sebagai suatu kondisi di mana atasan secara sungguh-sungguh mampu menggunakan kekuasaannya bilamana ia menginginkannya. Dengan demikian istilah ini lebih menunjuk kepada material ability untuk mencegah dan menahan terjadinya tindak pidana. Tentu saja perkecualian bisa terjadi yaitu apabila komandan tidak mempunyai kontrol efektif misalnya karena terputusnya komunikasi, adanya pemberontakan (mutiny) atau sebab-sebab lain yang tidak dapat dihindari.
Dari teori yang berkembang dalam hukum pidana inilah kemudian pertanggungjawaban komando berkembang dalam doktrin dan praktek yang kemudian melembaga secara normatif baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional.


D. PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO DALAM HUKUM HAM INTERNASIONAL DAN DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

D.1. Pengaturan Pertanggungjawaban Komando dalam Hukum HAM Internasional

Dalam instrumen hukum internasional, pertanggungjawaban komando dapat ditemukan dalam Pasal 86 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 (1977), Pasal 6 dari Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind yang disusun oleh Internatonal Law Commission, Pasal 7 (3) Statuta ICTY, Pasal 6 (3) Statuta ICTR dan Pasal 28 (2) Statuta ICC.
Semua instrumen tersebut memberikan kepada para pemegang komando pengaturan supaya bertanggungjawab untuk mencegah anak buahnya dari tindakan pelanggaran hukum HAM serta hukum perang (laws of war) serta bertanggungjawab untuk menghukum anak buahnya jika hukum tersebut dilanggar.
Dalam Pasal 86 ke-2 Additional Protocol atau Protokol Tambahan I tahun 1977 dari Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Korban Perang tanggal 12 Agustus 1949 dinyatakan bahwa :
the fact that a breach of the convention or of this protocol was commited by a subordinate does not absolve hid superior from penal or diciplinary, as the case may be if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time, that he was commiting or was going to commit such a breah and if they do not take all reasible measures within their power to prevent or repress the breach.

Selanjutnya dalam Pasal 87 Additional Protocol I Konvensi Jenewa tersebut dinyatakan pula bahwa :
international law imposes an affirmative duty on superiors to prevent persons under their control from commiting violations of international humanitarian law, and it is ultimately his duty that provides the basis for, and defines the contours of, the imputed criminal responsibility under art 7 (3) of the statute.

Selain itu, pengaturan hukum HAM internasional lain yang mengatur mengenai pertanggungjawaban komando adalah Pasal 28 Statuta Roma tentang International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional. Isi dari pengaturan tersebut adalah sebagai berikut :20
(a) A military commander or person effectively acting as a military commander shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by forces under his or her effective command and control, or effective authority and control as the case may be, as a result of his or her failure to exercise control properly over such forces, where:
(i) That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes; and
(ii) That military commander or person failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.
(b) With respect to superior and subordinate relationships not described in paragraph (a), a superior shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by subordinates under his or her effective authority and control, as a result of his or her failure to exercise control properly over such subordinates, where:
(i) The superior either knew, or consciously disregarded information which clearly indicated, that the subordinates were committing or about to commit such crimes;
(ii) The crimes concerned activities that were within the effective responsibility and control of the superior; and
(iii) The superior failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.

Mengenai pengaturan yang mendasarkan diri pada case law dari dua tribunal yaitu ICTY dan ICTR telah disebutkan di atas, sehingga secara cukup lengkap telah disebutkan pengaturan-pengaturan pertanggungjawaban komando dalam Hukum Ham Internasional yang mendasarkan diri pada case law dari dua tribunal yaitu ICTY dan ICTR, Pasal 86 dan 87 Protokol Tambahan I tahun 1977 dari Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Perang tanggal 12 Agustus 1949 dan Pasal 28 Statuta Roma.

D.2. Pengaturan Pertanggungjawaban Komando dalam Hukum Positif Indonesia

Dalam hukum positif di Indonesia, pertanggungjawaban komando diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang sebenarnya merupakan jiplakan dari isi Statuta ICC. Secara lengkapnya bunyi pengaturan tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :
a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Dalam ayat selanjutnya yaitu ayat (3) Pasal 42 UU Pengadilan HAM disebutkan bahwa perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.

E. PERTANGGUNGJAWABAN ANAK BUAH DAN PERTANGGUNG-JAWABAN KOMANDO

Selain permasalahan mengenai superior order dan command responsibility, salah satu permasalahan yang pelik dan membutuhkan pemikiran adalah berlindungnya anak buah (bawahan) dari pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan melanggar hukum dengan dalih perintah atasan. Demikian pula sebaliknya, atasan yang berlindung terhadap tanggung jawabnya dengan menyatakan bahwa anak buah (bawahan) yang melakukan tindak pidana harus dibuktikan terlebih dahulu dan sudah dipidana.
Untuk penerapan pertanggung-jawaban anak buah (bawahan), pada periode sebelum 1945 anggota atau anak buah yang melanggar hukum atas perintah atasan tidak dipidana. Yang dipidana adalah komandan yang memberi perintah, dengan alasan prajurit wajib untuk patuh kepada perintah komandan. Namun demikian, dalam perkembangannya, apabila prajurit mengetahui bahwa perintah tersebut merupakan kejahatan sipil atau militer maka prajurit tersebut juga dapat dipidana.
Hal ini misalnya dapat dilihat dalam dalam British Manual of Military Law 1944 dalam kutipan di bawah ini:21
Individuals and organizations who violate the accepted laws and customs of war may be punished therefor. How ever, the fact that the acts complained of were done pursuant to order of a superior order or government sanction may be taken into consideration in determining culpability, either by way of defence or in mitigation of punishment.......

Pada periode setelah 1945, negara-negara sekutu dengan negara-negara eks daerah pendudukan mengubah ketentuan perundang-undangannya. Hal ini bertujuan agar dalam pemeriksaan di Mahkamah Militer pelaku kejahatan perang tidak lagi menggunakan ‘perintah atasan’ sebagai alasan pembelaan absolut. Sikap dari Nuremberg Tribunal dapat dilihat dari kutipan berikut:
the official position of defendants, whether as heads of state or responsible officials in government departments, shall not be considered as freeing them from responsibility or mitigating punishment. That the fact the defendant acted pursuant to order of his government or of a superior shall not free him from responsibility, but they may be considered in mitigation or punishment if the tribunal detertmines that justice so requires.

Sementara itu Tokyo Tribunal dengan mengikuti sikap Nuremberg Tribunal menyatakan bahwa superior order bukan unsur pemaaf atas kejahatan yang dilakukan anggota. Akan tetapi hal itu dapat dipertimbangkan sebagai unsur yang meringankan hukuman. Berikut kutipannya:
... The duty to obey... order coming from a higher authority which the accused is by the law and custom of his service obliged to obey... is limited to the observance of orders which are lawful. There is no duty to obey that which is not unlawful order....

Perkembangan paling akhir mengenai tidak dapatnya seorang bawahan berlindung dari pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan melanggar hukum dengan dalih perintah atasan adalah dengan mempertegas hak prajurit untuk menolak perintah (unlawful order) : The right of the soldiers to disobey unlawful order.
Hukum di Indonesia mengatur beberapa hal mengenai ini. Dalam Pasal 51 (1) dan 51 (2) KUHP ditentukan mengenai alasan pembenar dan pemaaf seseorang yang melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh atasannya. Hal inilah yang sering menjadi persoalan dalam praktek.
Pasal 51 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan bahwa : Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang , tidak dipidana.
Demikian pula Pasal 51 (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjelaskan: Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Selain itu dalam Pasal 103 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dinyatakan bahwa militer wajib menaati perintah Dinas. (Perintah Dinas = perintah yang berkaitan dengan tugas dan fungsi TNI). Dalam hal ini tidak dipersoalkan apakah perintah tersebut melanggar hukum atau tidak melanggar hukum (lawful order atau unlawful order). Hal ini ditegaskan ulang dalam Pasal 11 Peraturan Disiplin Tentara (PDT) dengan menyatakan militer wajib menaati perintah berdasarkan kedinasan atau kepentingan tentara baik perintah lisan/tulisan, singkat, lengkap dan jelas. Sementara itu Pasal 12, PDT menyatakan bahwa bawahan harus memahami isi perintah, bertanggungjawab kepada atasan yang memberi perintah dan melaporkan kepada yang memberi perintah22.
Namun demikian menurut PLT Sihombing, seyogyanya ketentuan pasal tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan hukum kebiasaan perang, hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia.
Dengan demikian menurutnya dapat digunakan Pasal 55 (1) ke-1 KUHP yang menyatakan: dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang melakukan yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan. Dengan penggunaan pasal ini maka yang menyuruh melakukan (komandan yang memberi perintah) dan yang disuruh melakukan (anak buah di bawah komando) tetap dapat dipidana.
Inilah pentingnya melakukan pembahasan mengenai perbedaan antara pertanggungjawaban komando (command responsibility) dan perintah atasan (superior order), karena perbedaan itu berkonsekuensi pada dua sistem pemidanaan yang berbeda. Demikian pula pembahasan tentang pertanggungjawaban anak buah (bawahan) di mana perintah atasan tidak dapat lagi dijadikan sebagai alasan untuk melepaskan tanggungjawabnya secara mutlak atau absolut. Namun demikian perlu dipahami bahwa dalam prakteknya memang sulit untuk menerapkan prinsip hak prajurit untuk menolak perintah (unlawful order) : atau the right of the soldiers to disobey unlawful order, karena begitulah terutama isi sumpah dari prajurit (militer), yaitu untuk taat pada perintah atasan.

F. PRINSIP-PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO
Salah satu prinsip penting dari adanya pertanggungjawaban komando adalah dimilikinya legal authority oleh komandan, dengan demikian komandan juga memiliki legal obligation, dengan demikian ada command responsibility. Kewajiban hukum komandan dalam hal ini adalah penggunaan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan kejahatan/pelanggaran HAM, kekuasan tersebut dilalaikan atau gagal digunakan untuk menghentikan (to suppres), mencegah (to prevent), menindak (to reppress), melapor (to report) kejahatan/ pelanggaran HAM.
Selain prinsip penting tersebut, pembahasan prinsip pertanggungjawaban komando dapat dimulai dengan unsur-unsur doktrin pertanggungjawaban komando, yakni:
Adanya hubungan subordinasi antara komandan dan pelaku meliputi hubungan langsung (immediate commander) dan hubungan tidak langsung (mengikuti hierarkhi rantai komando);
Perlu dibuktikan bahwa komandan mengetahui, atau seharusnya mengetahui bahwa pasukan dibawah komandonya sedang, atau akan atau telah melakukan pelanggaran hukum. Namun dalam hal ini perlu pula dibicarakan mengenai kontrol efektif dari komandan terhadap anak buah.
Komandan telah gagal melakukan pencegahan atau menghukum pelaku.23

Sampai di sini muncul persoalan yaitu sampai tingkat komando yang mana dapat diterapkan pertanggungjawaban komando? Dari sudut doktrin, sebenarnya pertanggungjawaban komando dapat diterapkan pada seluruh rantai komando (unity of command). Mengenai hal ini, dalam kaitannya dengan Pasal 87 dan Pasal 86 ke 2 Protokol I Tahun 1977 Konvensi Jenewa ditegaskan mengenai tingkatan responsibility of the commanders yaitu:
...this responsibility applies from the highest to the lowest lebel of the hierarchy, from the commander in chief down to the common soldier who take over as a head of the platoon...

Berdasarkan sejarah perkembangan dapat dilihat bahwa para komandan dapat dituntut pertanggungjawaban komando apabila :24
Ada pelanggaran/kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer di bawah komandonya atau orang-orang yang berada di bawah pengendaliannya.
Pelanggaran tersebut terjadi pada waktu melaksanakan tugas/operasi dalam suatu situasi konflik (internasional atau internal).
Bahwa tanggungjawab komando secara pidana/perdata timbul karena adanya kesalahan komandan militer/sipil yang memiliki kewenangan seperti komando militer yaitu tidak melakukan kewajiban hukumnya berupa penggunaan kekuasaan yang dimilikinya untuk mencegah dan menindak pelaku pelanggaran.
Kekuasaan tersebut adalah kekuasaan menurut hukum yang melahirkan kewajiban hukum.
Kekuasaan tersebut seharusnya mampu untuk mencegah, menghentikan, dan menindak pelaku pelanggaran.
Adanya hubungan subordinasi langsung atau tidak langsung antara komandan dengan pelaku.
Adanya pengetahuan komandan bahwa anak buahnya akan, sedang atau telah melakukan pelanggaran secara aktual ataupun secara konstruktif.
Komandan dengan kekuasaan yang dimilikinya gagal melakukan pencegahan atau menghentikan atau menindak dan menyerahkan pelaku pelanggaran kepada yang berwajib.
Dalam praktek kesulitan yang muncul adalah terlebih dahulu harus ada keputusan pengadilan atas kejahatan yang dilakukan oleh bawahan yaitu bukti ada kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer di bawah komando atau orang yang berada di bawah pengendalian seorang komando. Namun sangat menarik bahwa dalam praktek pemeriksaan kasus Jendral Tomoyuki Yamashita, Admiral Soemu Toyoda, Karadzic, Delalic, Mucic dan Delic, pertanggungjawaban komando diterapkan walaupun tidak ada putusan pengadilan atas pelanggaran yang dilakukan anak buahnya tetapi terdapat bukti-bukti materiil bahwa anak buah di bawah komandonya atau orang yang berada di bawah pengendaliannya telah terlibat melakukan pelanggaran/ kejahatan.

G. PENUTUP
Demikianlah beberapa prinsip serta pengaturan mengenai pertanggungjawaban komando (command responsibility) terhadap pelaku pelanggaran berat Hak Asasi Manusia dalam rangka mencegah terjadinya impunitas atau pembiaran terhadap para pemimpin baik politik maupun militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat HAM. Seperti telah disebutkan di atas pelanggaran berat HAM yang berupa kejahatan genocide, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang saat ini dianggap sebagai musuh umat manusia (hostis humanis generis), sehingga menimbulkan suatu obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional secara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelakunya.
Sebagai negara yang yang telah mengatur jenis pertanggung jawaban komando ini dalam hukum positifnya, Indonesia secara moral maupun secara hukum bertanggung jawab untuk tidak membiarkan terjadinya praktek impunitas terhadap pelaku kasus pelanggaran berat HAM baik yang terjadi pada masa lampau maupun masa depan. Mata dunia internasional terus tertuju melihat keseriusan dan kesungguhan Indonesia untuk mengadili dan menghukum pelaku kasus-kasus pelanggaran berat HAM ini. Pembiaran serta praktek impunitas terhadap pelaku pelanggaran berat HAM akan menjadi preseden buruk serta menusuk rasa keadilan. Adalah tugas kita sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa untuk ikut memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, memberikan perlindungan, kepastian hukum dan keadilan serta perasaan aman kepada seluruh rakyat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.

*****

DAFTAR PUSTAKA

Literatur :

Danner, Allison M. dan Jenny S. Martinez, Guilty Associations: Joint Criminal Enterprise, Command Responsibility and the Development of International Criminal Law, Paper dalam International Law Workshop, University of California, Berkeley, 2004 dari http://repositories.cdlib.org/berkeley ilw/fall2004/3

Kasim, Ifdhal, dalam Elemen-elemen Kejahatan dari ‘Crimes Against Humanity’: Sebuah Penjelasan Pustaka, dalam Jurnal HAM Vol 2 No. 2 Nopember 2004, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004

_________, Statuta Roma : Mahkamah Pidana Internasional, Mengadili Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang, Agresi, terjemahan, Jakarta : Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2000
Mahle, Anne E., Command Responsibility - An International Focus dalam http://www.pbs.org/wnet/justice/world_issues_com.html
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Yogyakarta : Gajah Mada University Press, Cetakan Ke XII, 1982
Muladi, Polisi, Hak-hak Asasi Manusia dan Globalisasi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Polisi Indonesia II tentang Pertanggungjawaban Polisi, Semarang, 1996

_________, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum, Jakarta : The Habibie Centre, 2002

Nusantara, Abdul Hakim G., Sebuah Upaya Memutus Impunitas : Tanggung Jawab Komando dalam Pelanggaran Berat HAM, dalam Jurnal HAM Vol 2 No. 2 Nopember 2004, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004

Rusman, Rina, Konsep Pelanggaran Berat HAM Dilihat dari Sisi Hukum Humaniter, dalam Jurnal HAM Vol 2 No. 2 Nopember 2004, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004

Schaffmeister ,D., N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta : Liberty, 1995

Sihombing, P.L.T., Pertanggungjawaban Komando, dalam Jurnal HAM Vol 2 No. 2 Nopember 2004, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan II, Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990
Undang-Undang :

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Internet :

http://www.indonesiahouse.org/focus/militer/060803TNI_aceh_pulaunasi. htm
http://www.sekitarkita.com/comments. php?id=487_0_1_0_M
http://www.pbs.org/wnet/justice/world_issues_com.html
http://www.indonesiahouse.org/focus/militer/060803TNI_aceh_pulaunasi. htm
http://www.un.org/icty
http://www.ictr.org.
http://www.un.org/law/icc/statute/romefra.htm

VERBAL SANCTION

SEBAGAI SANKSI PIDANA NON-CUSTODIAL DALAM KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DI INDONESIA


I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tulisan ini sebenarnya merupakan ringkasan dari tesis serta penelitian S-2 yang dilakukan penulis pada saat menempuh studi lanjut di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro kajian Hukum dan Sistem Peradilan Pidana. Karena panjangnya isi tesis tersebut, maka ringkasan ini mudah-mudahan dapat memberikan gambaran mengenai apa yang diteliti.
Materi dari penelitian terutama permasalahan adalah mengenai masalah pemidanaan, yang sebenarnya merupakan salah satu dari 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana selain masalah perbuatan/tindak pidana dan masalah kesalahan. Dalam penelitian ini dicoba untuk digambarkan bagaimana verbal-sanction sebagai salah satu alternatif sanksi non-custodial dapat direkomendasikan dalam Kebijakan Formulasi hukum Pidana Indonesia di masa yang akan datang. Jadi isi penelitian lebih merupakan pemikiran-pemikiran teoritis, mengapa verbal sanction ini perlu direkomendasikan ke dalam Konsep atau rancangan KUHP yang akan datang (ius constituendum)
Sebagaimana diketahui, sebagian produk hukum yang kita miliki termasuk di dalamnya hukum pidana adalah suatu tata hukum yang diwarisi dari zaman Hindia Belanda, yang berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Sebenarnya berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan, tata hukum ini dimaksudkan untuk dipakai sementara, sebagai hukum ‘transisi’, sebelum kita memiliki hukum pidana nasional yang sejalan dengan pandangan serta kepribadian bangsa kita sendiri.
Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana nasional merupakan salah satu masalah yang dihadapi bangsa Indonesia, khususnya dalam rangka upaya mengubah dan mengganti KUHP (WvS) warisan zaman kolonial yang dalam kenyataan dan perkembangannya sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan spirit bangsa Indonesia yang telah hidup sekian lama dalam alam kemerdekaan, karena KUHP yang selama ini berlaku tidak berakar dan bersumber dari pandangan dan kepribadian serta nilai-nilai dasar yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Oleh Soebekti ditegaskan bahwa hukum itu, sebagai suatu kebudayaan, merupakan suatu refleksi dari cara berpikir, pandangan hidup dan watak atau karakter suatu bangsa.1
Ada beberapa alasan mengapa mengapa pembaharuan hukum pidana khususnya hukum pidana materiil perlu dilakukan. Sudarto mengemukakan 3 (tiga) alasan yang disebutnya sebagai alasan politis, alasan sosiologis maupun alasan praktis. Alasan politis dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional, demi kebanggan nasional; alasan sosiologis menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa dan alasan praktis yang didasari pemikiran bahwa biasanya negara-negara bekas jajahan mewarisi hukum negara yang menjajahnya dengan bahasa aslinya, sehingga pada saat merdeka ada keinginan dari generasi yang tidak mengalami penjajahan tersebut untuk menggunakan bahasanya sendiri sebagai bahasa kesatuan.2
Selain itu, Muladi mengemukakan satu lagi alasan yaitu alasan adaptif, di mana menurutnya hukum pidana warisan kolonial dirasa sudah tidak mampu mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang baru khususnya perkembangan dalam dunia internasional yang diyakini dan diakui oleh bangsa-bangsa beradab. 3
Dalam Kongres PBB ke-5 mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offender yang diadakan di Geneva pada tahun 1975 dibicarakan mengenai reforms of criminal law sebagai berikut :
“In some regions, the codes, laws and institutions forming the frame work of penal system were out moded; in some cases they have been imported in colonial times. That resulted in systems that were unsuited to the current social requirements of the regions to which they were applicable, just as they were unsuited to the recognitions of contemporary criminology and the requirements of criminal policy. It was agreed that inovations and adaptation of proven experience were to be preferred to imitation, and traditions should be accorded no more than their true value.”4

Mengenai masalah pembaharuan hukum pidana Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri yang dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio filosofik, sosio kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakangi itu. 5 Dengan demikian menurut Barda Nawawi Arief :
pembaharuan hukum pidana pada hahekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan bahwa, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach).

Menurut Sudarto selama ini masalah pemidanaan merupakan masalah yang kurang mendapat perhatian dalam pelajaran hukum. Bahkan ada yang menyatakan bahwa masalah pemidanaan sebagai anak tiri (manrach). Selanjutnya dikatakan bahwa bagian yang terpenting dari suatu Kitab undang-undang Hukum Pidana adalah stelsel pidananya, karena stelsel pidana tersebut dapat dijadikan ukuran sampai seberapa jauh tingkat peradaban bangsa yang bersangkutan.6 Pembicaraan mengenai stelsel sanksi sangatlah penting mengingat sanksi atau pidana yang diancamkan dalam hukum pidana sifatnya sangat tajam dan harus dianggap sebagai ultimum remedium atau obat yang terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lain dianggap tidak mempan. Selain itu, pidana tidak hanya tidak enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah itu orang yang dikenai pidana masih dapat merasakan akibatnya yang berupa ‘cap’ oleh masyarakat bahwa ia pernah berbuat jahat yang dalam ilmu pengetahuan disebut ‘stigma’. Dengan stigma inilah maka seolah-olah seseorang kemudian menjadai terpidana seumur hidupnya.7
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam draft resolusi yang merupakan hasil kongres PBB ke-8 mengenai ‘The Prevention of Crime and the Treatment Offender’ yang diadakan di Havana, Cuba, pada tanggal 27 Agustus-7 September 1990, diterima aturan standar minimum untuk tindakan-tindakan non-custodial oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi 45/110 tertanggal 14 Desember 1990 yang disebut dengan Tokyo Rules dengan pertimbangan bahwa pembatasan kemerdekaan hanya dapat dibenarkan dilihat dari segi keamanan masyarakat, pencegahan kejahatan, pembalasan yang adil dan penangkalan dan reintegrasi pelaku tindak pidana kedalam masyarakat sebagai tujuan utama dari sistem peradilan pidana.
Dalam kenyataannya dalam KUHP (WvS) jenis-jenis tindakan non-custodial seperti yang direkomendasikan oleh Tokyo Rules tersebut belum diatur karena KUHP (WvS) adalah karya peninggalan yang sudah cukup tua umurnya yang memang pada saat dibuat belum mengatisipasi perkembangan tersebut. Sedangkan dalam produk-produk legislatif yang lain yang relatif baru umurnya, jenis-jenis tindakan tersebut juga belum diatur, karena produk-produk legislatif tersebut selalu berpedoman dan berinduk kepada KUHP.
Salah satu jenis tindakan non-custodial yang ditawarkan pada tahap peradilan dan pemidanaan yang diatur dalam Tokyo Rules tersebut adalah ‘verbal sanction’ atau sanksi lisan yang dapat berupa teguran/nasehat baik (admonition), teguran keras/pencercaan (reprimand) dan peringatan (warning).
Dari latar belakang di atas, sangatlah menarik untuk mengkaji apakah ada kemungkinan untuk merekomendasikan kebijakan sanksi pidana non-custodial terutama ‘verbal sanction’ yang tercantum dalam Tokyo Rules tersebut dalam kebijakan formulasi hukum pidana di Indonesia yang selanjutnya disesuaikan dengan judul dari tulisan ini yaitu: ‘Verbal Sanction’ sebagai Sanksi Pidana Non Custodial dalam Kebijakan Formulasi Hukum Pidana di Indonesia.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : apakah ide dasar perlunya merekomendasikan verbal sanction sebagai salah satu sanksi pidana non-custodial dalam kebijakan formulasi hukum pidana di Indonesia ?

C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan permasalahan pokok dari penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : mengetahui ide dasar perlunya merekomendasikan verbal sanction sebagai salah satu sanksi pidana non-custodial dalam kebijakan formulasi hukum pidana di Indonesia.

D. KEGUNAAN PENELITIAN
Dari hasil penelitian, maka diharapkan akan diperoleh kegunaan sebagai berikut :
Menambah informasi bagi usaha pembaharuan hukum pidana, khususnya di bidang kebijakan formulasi hukum pidana, sehingga dapat diupayakan untuk mewujudkan sanksi pidana berupa sanksi pidana non-custodial khususnya verbal sanction dalam kebijakan formulasi hukum pidana di Indonesia.
Mengembangkan khasanah penelitian, terutama penelitan mengenai hukum pidana pada umumnya dan penelitian mengenai sanksi pidana pada khususnya, sehingga dapat memperluas wawasan pemikiran dan ide mengenai pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

E. METODE PENELITIAN
Metode Pendekatan
Berdasarkan permasalahan penelitian, dimana objek yang diteliti adalah mengenai kebijakan formulasi hukum pidana khususnya mengenai ‘verbal sanction’ sebagai sanksi pidana, maka metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Dalam penelitian ini data yang dipakai dan diteliti terutama adalah data sekunder atau data yang berasal dari bahan kepustakaan. Selain itu metode penelitian normatif dipakai karena pusat perhatian utama dalam penelitian ini adalah bahan pustaka terutama yang menyangkut kebijakan untuk menetapkan dan merumuskan ‘verbal sanction’ dalam perundang-undangan.
Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terutama berupa data kepustakaan (data sekunder) yang berupa bahan/sumber data primer dan bahan/sumber data sekunder. Bahan/sumber primer yang terutama dipakai adalah peraturan perundang-undangan. Bahan/sumber sekunder yang diteliti meliputi dokumen atau risalah perundang-undangan, rancangan undang-undang, sumber hukum dan perundang-undangan negara asing sebagai perbandingan, hasil-hasil penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya baik nasional maupun internasional. Adapun dokumen atau risalah resmi mengenai konsep perundang-undangan pidana (terutama Konsep/Rancangan KUHP Nasional) yang diteliti adalah yang tersimpan di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan Bagian Hukum Pidana Direktorat Jendral Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman Republik Indonesia di Jakarta.
Metode Analisa Data
Metode analisa data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode analisa kualitatif yaitu analisis data non statistik yang disesuaikan dengan data yang akan dikumpulkan yaitu data yang deskriptif atau data textular. Data deskriptif atau data textular ini dianalisis berdasarkan isinya.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian, maka di bawah ini akan diuraikan teori-teori, konsep-konsep serta pandangan-pandangan serta pengertian dari istilah-istilah yang dipakai, yang diharapkan dapat mendukung permasalahan yang ada dalam penelitian.

A. TEORI-TEORI PEMIDANAAN (DASAR-DASAR PEMBENARAN DAN TUJUAN PIDANA)

Dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana (criminal justice system), pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Masalah pidana ini tidak dapat dipandang hanya secara sederhana, sebab persoalannya justru sangat kompleks dan mengandung makna yang sangat mendalam, baik yuridis, sosiologis maupun filosofis.
Khusus mengenai masalah pidana sendiri, selama ini terdapat dua pandangan yang masing-masing secara baik secara yuridis, sosiologis maupun filosofis saling bertertentangan. Sebagian ahli hukum keberatan terhadap penggunaan sanksi (hukum) pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan dalam masyarakat. Menurut Alf Ross, keberatan terhadap penggunaan sanksi pidana dalam masyarakat ini muncul dengan adanya pandangan yang deterministik, yang kemudian berlanjut pada munculnya gerakan ‘anti pidana’ (the campaign against punisment). Dengan munculnya keberatan tersebut, Menninger berpendapat bahwa seyogyanya sikap memidana harus diganti dengan ‘sikap mengobati’.8 Sebagian ahli hukum lain mendukung digunakannya sanksi pidana dalam masyarakat. Menurut mereka, sanksi pidana dalam kenyataannya dibutuhkan dalam masyarakat.
Dalam perkembangannya ada berbagai macam teori mengenai pemidanaan. Untuk itu di bawah ini akan diuraikan mengenai berbagai macam teori pemidanaan atau dasar-dasar pembenaran dan tujuan pidana.
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok yaitu a) teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen) ; dan b) teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen).
Menurut teori absolut, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Menurut Johannes Andenaes, tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah ‘untuk memuaskan tuntutan keadilan’ (to satisfy the claims of justice). Menurut Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan. Ia memandang pidana sebagai ‘kategorische imperatief’ yakni seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan. Pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid). Salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolut adalah Hegel yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.9
Menurut teori relatif, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan tersebut sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence). Menurut Nigel Walker, teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the ‘reductive’ point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan, sehingga penganutnya dapat disebut golongan ‘reducers’.
Selain dua pandangan tersebut, pandangan bahwa pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan belaka kepada orang yang telah melakukan sesuatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat dikembangkan oleh para utilitarianist, sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan ‘quia peccatum est’ (karena orang membuat kejahatan) melainkan ‘ne peccetur’ (supaya orang jangan melakukan kejahatan).10

B. BATAS-BATAS KEMAMPUAN HUKUM PIDANA DAN PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN

Dari beberapa pendapat ahli, dapat dilihat bahwa hukum pidana mempunyai keterbatasan kemampuan untuk menanggulangi kejahatan dan pemidanaan sebenarnya hampir tidak berpengaruh terhadap masalah kejahatan. Keterbatasan kemampuan hukum pidana itu sebenarnya disebabkan oleh sifat/ hakikat dan fungsi pidana sendiri, sebab sanksi pidana yang selama ini diberikan sebenarnya bukanlah obat (remedium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit, tetapi sekedar untuk mengatasi gejala/akibat dari penyakit.
Sehubungan dengan pemidanaan, Rubin misalnya menyatakan bahwa apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki, pemidanaan sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan. Wolf Middendorf menyatakan pula bahwa sangatlah sulit untuk melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari ‘general deterrence’ karena mekanisme pencegahan (deterrence) itu tidak diketahui. Kita tidak dapat mengetahui hubungan yang sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang mungkin melakukan kejahatan atau mungkin mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya undang-undang atau pidana yang dijatuhkan. Dikemukakan pula olehnya bahwa dalam prakteknya sulit menetapkan jumlah (lamanya) pidana yang sangat cocok dengan kejahatan dan kepribadian si pelanggar karena tidak ada hubungan logis antara kejahatan dengan jumlah lamanya pidana. Selain itu ditegaskan pula olehnya bahwa pengetahuan mengenai apa yang membuat seorang terpidana kembali melakukan atau tidak melakukan kejahatan masih sangat sedikit diketahui.11
Secara lebih umum M. Cherif Bassiouni pernah juga menegaskan, bahwa kita tidak tahu dan tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan (treatment) apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau kitapun tidak mengetahui seberapa jauh efektifitas setiap metode tindakan itu. Untuk dapat menjawab masalah-masalah ini secara pasti, kita harus mengetahui sebab-sebab kejahatan; dan untuk mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan yang lengkap mengenai etiologi tingkah laku manusia.
Beberapa ungkapan di atas sebenarnya menunjukkan keterbatasan kemampuan hukum pidana dari sudut hakikat terjadinya kejahatan dan dari sudut hakikat berfungsinya/bekerjanya hukum (sanksi) pidana itu sendiri. Dilihat dari hakikat kejahatan sebagai salah satu masalah kemanusiaan dan masalah sosial, faktor penyebab terjadinya kejahatan sangat kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana.
Selain itu obat ‘pidana’ itu sendiri mengandung juga sifat-sifat kontradiktif/ paradoksal dan unsur-unsur negatif yang membahayakan atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan efek-efek sampingan yang negatif. Pendekatan pengobatan yang ditempuh oleh hukum pidana selama ini sangat terbatas dan ‘fragmentair’, yaitu terfokus pada dipidananya si pembuat. Dengan demikian, efek preventif dan upaya perawatan/ penyembuhan lewat sanksi pidana lebih diarahkan pada tujuan ‘mencegah agar orang tidak melakukan tindak pidana/kejahatan’ (efek prevensi spesial maupun prevensi general) dan bukan untuk ‘mencegah agar kejahatan itu (secara struktural) tidak terjadi’. Dengan kata lain keterbatasan kemampuan hukum pidana antara lain dapat dilihat juga dari sifat/fungsi pemidanaan selama ini, yaitu pemidanaan individual/personal, dan bukan pemidanaan yang bersifat struktural/fungsional.
Sisi lain yang juga dapat dilihat sebagai keterbatasan hukum pidana selama ini adalah sangat kaku dan sangat terbatasnya jenis pidana (sebagai obat/remedium) yang dapat dipilih. Tidak sedikit perundang-undangan selama ini yang menggunakan sistem perumusan sanksi yang sangat kaku dan bersifat imperatif, seperti halnya perumusan sanksi pidana secara tunggal dan komulatif. Sistem demikian tentunya kurang memberi peluang atau kelonggaran bagi hakim untuk memilih pidana (obat) mana yang dianggapnya paling tepat bagi si terpidana.12

C. KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN

Sejak KUHP dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia, sebenarnya upaya-upaya untuk mengadakan pembaharuan hukum pidana sudah dimulai. Namun demikian karena sifatnya yang hanya tambal sulam atau parsial saja, maka dapat dikatakan bahwa upaya-upaya tersebut belum merupakan ‘law reform’ secara ‘total’. Kondisi ini dapat dikatakan cukup menyedihkan, karena berbagai perkembangan sosial seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan berbagai macam tindak pidana menuntut hukum pidana terus berkembang.
Dengan ini maka pembaharuan hukum pidana menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah sentral yang sangat fundamental dan strategis termasuk dalam klasifikasi yang demikian antara lain masalah kebijakan dalam menetapkan sanksi pidana. Sehubungan dengan ini, maka Barda Nawawi Arief mengemukakan :
Kebijakan menetapkan pidana dalam perundang-undangan, yang dapat disebut tahap kebijakan legislatif, merupakan tahap yang paling strategis dilihat dari keseluruhan proses kebijakan untuk mengoperasionali-sasikan sanksi pidana. Pada tahap inilah dirumuskan garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang sekaligus merupakan ladasan legalitas bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana oleh badan pengadilan dan tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana. 13

Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain, Sudarto juga mengemukakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik.

D. VERBAL SANCTION SEBAGAI SANKSI PIDANA NON-CUSTODIAL
Dalam Kongres PBB ke-7 mengenai ‘The Prevention of Crime and the Treatment of Offender’ dinyatakan bahwa pertambahan jumlah dan lamanya pidana penjara ternyata tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap penurunan jumlah kejahatan. Pertambahan populasi penjara dan penuhnya lembaga penjara menyebabkan kesulitan untuk mengembangkan aturan standar minimum bagi perlakukan terhadap pelaku tindak pidana. Untuk itu pencarian alternatif pidana penjara telah menjadi masalah yang bersifat universal.
Kongres PBB ke-7 ini kemudian merekomendasikan setiap negara untuk menggunakan sanksi pidana sanksi pidana yang berupa tindakan-tindakan non-custodial untuk perkara pidana yang dianggap tidak terlalu serius atau membahayakan dan merekomendasikan pula agar setiap negara mempertimbangkan pidana penjara hanya sebagai sanksi yang terakhir (sanction of last resort).14
Untuk itu dalam draft resolusi yang merupakan hasil kongres PBB ke-8 mengenai ‘The Prevention of Crime and the Treatment Offender’ yang diadakan di Havana, Cuba, pada tanggal 27 Agustus-7 September 1990, diterima Aturan Standar Minimum untuk Tindakan-tindakan non-custodial oleh Majelis Umum PBB dengan resolusi 45/110 yaitu United Nation Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures (The Tokyo Rules)
Dalam tahap peradilan dan pemidanaan salah satu jenis tindakan non custodial yang direkomendasikan dengan mempertimbangkan kebutuhan rehabilitasi bagi pelaku, perlindungan masyarakat dan kepentingan korban, diantaranya adalah : a) sanksi–sanksi lisan (verbal sanction), seperti teguran/nasehat baik (admonition), teguran keras/pencercaan (reprimand) dan peringatan (warning
Pengertian ‘verbal sanction’ sebagai satu kesatuan arti tidak dijelaskan baik dalam Tokyo Rules, kamus umum maupun dalam kamus hukum. Dalam ‘The Advanced Learner,s Dictionary of Current English’ dijelaskan yang dimaksud dengan pengertian ‘verbal’ adalah of words atau in words atau spoken not written. Sedangkan salah satu pengertian dari sanksi (sanction) dalam kamus tersebut adalah penalty intended to maintain or restore respect for law or authority.15
Dalam buku ‘Sociology and Social Life’, Kimball Young dan Raymond W. Mack mengatakan bahwa :
Sanctions are the rewards or punishments used to establish social control, to enforce the norms in a society. Sanctions may applied in various ways, ranging from the use of physical force to symbolic means. Sanctions are used to force or persuade an individual or group to conform to social expectation. Sanctions may be either informal or formal. Informal sanctions are illustrated by customs, the mores and public opinion. The formal sanctions are those worked out by the state through law and administrative devices. 16

Dinyatakan juga bahwa informal sanction yang dihasilkan oleh kebiasaan (custom) , adat istiadat (mores) dan pendapat masyarakat (public opinion) biasanya digambarkan dengan simbol (symbolic sanction). Beberapa sanksi informal yang biasanya digambarkan dengan simbol ini dalam kenyataannya cukup efektif untuk mencegah seseorang melakukan perbuatan yang dianggap menyimpang dari kebiasaan atau adat istiadat. Contohnya adalah penggunaan ‘kata seru’ atau ‘seruan’ (language appeals), menertawakan orang lain (laughing at others), ejekan (name-calling) , menakut-nakuti (threaths) dan perintah (commands). Contoh sanksi informal ini biasanya dilakukan dengan bentuk lisan (verbal form) untuk memerintah (ordering) ataupun melarang sesuatu (forbidding), -- yang merupakan cara yang tertua -- untuk mengontrol perilaku sesorang dengan kata-kata (the oldest means of controlling trough word). 17
Mengenai sanksi lisan, dalam tulisannya yang berjudul ‘Suspended Sentence’, Marc Ancel menguraikan bahwa dalam hukum pidana rezim lama, dengan berbagai sanksinya, dikenal beberapa macam sanksi moral, diantaranya adalah admonition yang kurang lebih berarti sanksi moral yang berisi teguran atau celaan (reproof) yang diberikan oleh hakim bagi pelaku tindak pidana. Dijelaskan selanjutnya oleh Marc Ancel bahwa jenis tindakan yang baik ini, seperti halnya skorsing, menghindarkan beban seseorang dari hukuman yang lebih berat, dan memiliki kebaikan dengan memberikan pada pelaku tindak pidana yang masih anak-anak suatu jenis peringatan. Jenis tindakan ini memudahkan untuk memberikan suatu hukuman yang berkualitas, dengan tidak membiarkan pelaku tidak dipidana, dan menghindarkan pelaku dari keburukan yang dapat diperoleh dari penjara. Selain menghukum pelaku dengan memperlihatkan ketidaksetujuan di depan pengadilan, tujuan dari hukuman yang berupa peringatan ini ditujukan agar si pelaku memperbaiki diri dan merubah cara hidupnya yang salah. .18

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Menerangkan suatu ide dasar untuk nantinya direkomendasikan sebagai salah satu pilihan yang hendak dimasukkan sebagai kebijakan formulasi dalam rangka pemidanaan bukanlah hal yang mudah. Untuk itu diperlukan pemikiran serta telaah dari berbagai sudut pandang.
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa pemikiran dalam rangka merekomendasikan verbal sanction sebagai salah satu sanksi pidana non-custodial dalam kebijakan formulasi hukum pidana di Indonesia. Karena antara satu kajian dengan yang lainnya saling berhubungan, maka dalam membicarakan hal ini penulis akan membaginya menjadi beberapa sub bagian.

A. KAJIAN MENGENAI VERBAL SANCTION DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA PADA MASA KINI (IUS CONSTITUTUM).

Dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah ada ketentuan mengenai verbal sanction ini. Dalam Pasal 24 ayat (2) tersebut dikatakan bahwa dalam tindakan yang diberikan pada anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim (garis bawah dari penulis).
Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (2) tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘teguran’ adalah peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan.19
Dengan demikian ‘teguran’ yang dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 adalah hanya sebagai tambahan (dari kata : dapat disertai) dari tindakan yang dapat diberikan oleh hakim terhadap anak nakal. Yang jelas sifatnya bukan sebagai pidana, juga bukan sebagai tindakan, hanya sebagai tambahan saja dari tindakan yang dapat diberikan oleh hakim terhadap anak nakal.

B. IDE DASAR PERLUNYA MEMPERTIMBANGKAN VERBAL SANCTION DIREKOMENDASIKAN DALAM KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DI INDONESIA.

1. Kajian Mengenai Perlunya Merekomendasikan Verbal Sanction dalam Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Ditinjau dari Tujuan Pemidanaan

Berdasarkan pemikiran para ahli, salah satu usaha atau cara menanggulangi kejahatan adalah dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun demikian usaha penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana inipun masih dapat diperdebatkan.
Para ahli yang mempertanyakan perlunya penggunaan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan terutama dipelopori oleh aliran pemikiran modern dalam hukum pidana, karena pidana dianggap sebagai ‘peninggalan dari kebiadaban kita masa lalu’ (a vestige of our savage past) yang seharusnya dihindari. Pendapat ini lebih didasarkan pada pandangan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Atas pandangan ini, ada pendapat yang menyatakan bahwa teori retributive atau teori pembalasan dalam hal pemidanaan merupakan a relic of barbarism.
Bila pusat perhatian dari aliran klasik yang terutama menganut aliran retributivis adalah pada perbuatan, maka pusat perhatian dari aliran atau gerakan modern adalah si pembuat. Aliran ini menganggap bahwa seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata semata-mata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit sesuai dengan kenyataannya dimana dalam melakukan perbuatan dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu faktor watak pribadi, faktor biologis dan faktor lingkungan kemasyarakatannya. Jadi aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme bahwa manusia berbuat sesuatu dipengaruhi oleh unsur-unsur di luar diri pribadinya.
Dengan ini konsepsi pidana adalah bahwa pidana harus cocok dengan karakter si pelaku (punisment should fit the criminal). Dari dasar pandangannya yang deterministis, titik berat difokuskan pada orang yang melakukan tindak pidana bukan pada perbuatan, sehingga hukum pidana yang dikehendaki adalah hukum pidana orang (daderstrafrecht).
Dalam hal pidana dan pemidanaan aliran ini sangat memberi kebebasan yang sangat besar pada hakim (judicial discretion) untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan (elasticity of sentencing) yang sesuai dengan individu (individualization of punishment), sehingga terhadap pemidanaan dipakai sistem ‘indeterminate sentence’ yang bersifat sangat elastis. 20
Dalam perkembangannya, banyak ahli yang tidak menyetujui konsep dari pemikiran aliran modern ini secara menyeluruh. Pemikiran aliran modern dianggap tidak dapat menyelesaikan fenomena sosial yang disebut kejahatan serta terlalu memanjakan penjahat. Selain itu dalam kenyataannya banyak pandangan yang menyatakan bahwa pidana masih diperlukan dalam upaya penanggulangan kejahatan
Kemudian muncul aliran neo-klasik yang merupakan penggabungan antara ide-ide yang ada dalam aliran klasik dan aliran modern, yang memiliki karakteristik antara lain modifikasi doktrin kebebasan kehendak atas dasar usia, patologi dan lingkungan; daad-daderstrafrecht; penggalakan expert testimony, pengembangan hal-hal yang meringankan dan memperberat pemidanaan; pengembangan twintrack-system yakni pidana dan tindakan; serta perpaduan antara justice model dan perlindungan terhadap hak terdakwa-terpidana termasuk di dalamnya pengembangan non-institutional treatment dan dekriminalisasi dan depenalisasi.21
Dengan bercirikan orientasi kepada pelaku dan perbuatan, pemikiran mengenai sanksi yang diberikan tidak hanya meliputi pidana (straf/punishment) yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata tertib (maatregel/treatment) yang secara lebih bersifat mendidik.
Sekarang timbul pertanyaan bagaimanakah falsafah pemidanaan yang cocok untuk negara kita ?
Berdasarkan falsafah hidup negara/bangsa yang terkandung dalam Pancasila, manusia ditempatkan pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran untuk mengemban kodratnya sebagai mahluk pribadi sekaligus mahluk sosial. Dengan ini rakyat memiliki keyakinan yang bulat dan utuh bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan bangsa dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohani.22
Sejalan dengan hal ini, Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa hukum mengatur pelbagai hubungan dalam masyarakat. Dalam mengatur hubungan ini, hukum bertujuan untuk mengadakan suatu ‘imbangan’ di antara berbagai kepentingan. Imbangan ini tidak terletak pada dunia lahiriah, melainkan terletak pada dunia rohaniah di tengah-tengah masyarakat (magisch evenwicht). Keselamatan dan kebahagiaan masyarakat hanya tercapai bila hukum yang mengaturnya dilaksanakan, dihormati dan tidak dilanggar. Dengan adanya pelanggaran, maka akan terjadi keguncangan sehingga terjadi rasa keruh dan kecewa di antara anggota masyarakat, untuk itu hukum dipakai sebagai sebagai suatu ‘imbangan’.23
Muladi mengemukakan pula bahwa menurut sarjana-sarjana hukum adat, tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan (evenwichtsverstoring) dan pemidanaan dalam hal ini merupakan reaksi masyarakat yang bertujuan untuk memulihkan keseimbangan.24
Dari pendapat ini penulis mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya berdasarkan falsafah bangsa Indonesia sendiri dapat dicari alasan mengapa seseorang dapat dipidana berdasarkan perbuatan yang dilakukannya. Pemulihan keseimbangan dalam masyarakat yang dianggap telah dirusak dengan terjadinya tindak pidana, dan bahwa kebahagiaan hidup baru akan tercapai bila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan adalah tujuan serta alasan-alasan seseorang dapat dipidana berdasarkan perbuatannya. Dari sini dapat dikatakan pula bahwa sebenarnya pidana masih diperlukan dalam masyarakat Indonesia, sehingga pendapat aliran modern mengenai ‘abolition of punishment’ tidak dapat begitu saja diterapkan di Indonesia.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan baik bagi kepentingan individu maupun masyarakat, maka haruslah digunakan pidana yang humanistis, karena pidana sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Dengan ini maka pidana yang hendak dikenakan pada pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat.
Bertolak dari pemikiran bahwa pemidanaan harus berorientasi pada faktor ‘orang’ (pelaku tindak pidana), maka ide ‘individualisasi pidana’ juga melatar belakangi aturan umum pemidanaan di dalam Buku I Konsep. Sehubungan dengan individualisasi pidana tersebut, maka dalam Konsep KUHP tahun 1999/2000 yang dikeluarkan oleh Direktorat Perundang-undangan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan, dikemukakan dalam Pasal 50 tentang Tujuan Pemidanaan.
Dari tujuan pemidanaan yang ada dalam Pasal 50 tersebut dapat dilihat bahwa sesungguhnya diperlukan suatu pemikiran mengenai jenis-jenis pemidanaan yang dapat mengakomodasi kepentingan individu maupun masyarakat tersebut, dengan memasukkan ide individualisasi dan elastisitas pemidanaan dalam kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang di negara kita. Salah satu sanksi yang sebenarnya dapat mengakomodasi tujuan serta kepentingan tersebut adalah ‘verbal sanction’, yang sebenarnya telah direkomendasi oleh PBB dalam Tokyo Rules.

2. Kajian Mengenai Perlunya Merekomendasi ‘Verbal Sanction’ Berdasarkan Kecenderungan-Kecenderungan Internasional.

Salah satu asas yang terpenting dari pemidanaan yang telah diakui secara internasional adalah asas yang tercantum dalam Pasal 5 Universal Declaration of Human Rights dan Pasal 7 International Covenant on Civil and Political Rights, yang berbunyi : no one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.25
Salah satu dokumen yang penting menyangkut tindakan non-custodial, seperti telah disebut di muka adalah Tokyo Rules yang merupakan United Nation Standard Minimum Rules for non-custodial Measures yang diterima oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi 45/110 tertanggal 14 Desember 1990 yang merupakan hasil Kongres PBB mengenai ‘The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders’, yang diselenggarakan di Havana, Cuba, pada tanggal 27 Agustus – 7 September 1990.
Dalam mempertimbangkan mengapa verbal sanction sebagai salah satu jenis tindakan non-custodial perlu direkomendasikan ke dalam kebijakan formulasi hukum pidana di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pertimbangan yang mengatur mengenai United Nation Standard Minimum Rules for non-custodial Measures.
Pertimbangan tersebut adalah selain untuk menegakkan hak asasi manusia yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights juga karena adanya kesulitan untuk melaksanakan Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Kesulitan untuk melaksanakan Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners disebabkan karena populasi penjara yang demikian penuh, sehingga pelaksanaannya tidak dapat dilakukan secara konsisten.26
Demikian pula dalam Resolusi 8 Kongres PBB ke-6 mengenai ‘alternatives to imprisonment, disebutkan bahwa ‘alternatives to prison sentence can in many cases be equally effective’ sehingga setiap negara anggota direkomendasikan untuk memakai ‘alternatives to imprisonment in appropriate cases’. 27
Dalam Resolusi 16 Kongres PBB ke-7 mengenai ‘alternatives to imprisonment’ dinyatakan bahwa ‘non-custodial sanction are more humane way of facilitating some efforts in relation to sentenced individual’. Dalam resolusi ini dijelaskan pula bahwa berdasarkan penelitian, ditemukan kenyataan bahwa di berbagai negara bertambahnya jumlah penghuni penjara serta lamanya pidana pidana (the number and length of prison sentence) tidak memiliki dampak yang signifikan untuk pencegahan kejahatan sehingga penuhnya penjara (over-crowded prison) di beberapa negara menyebabkan sulitnya menerapkan Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Selain itu dalam Resolusi ini juga disebutkan bahwa pada saat non-custodial sanction digunakan, merupakan prinsip untuk menggunakan non-custodial sanction ini sebagai alternatif yang riil terhadap pidana penjara, bukan sebagai sanksi tambahan terhadap pidana penjara (when non-custodial sanctions are introduced, they should, in principle, be used as real alternatives to imprisonment, not in addition to it).28
Dalam konggres PBB ke-8 mengenai ‘the Prevention of Crime and the Treatment of Offender’ juga dibicarakan mengenai custodial dan non-custodial treatment of offender. Dinyatakan dalam konggres tersebut bahwa salah satu pertimbangan untuk pengenaan tindakan non-custodial adalah besarnya biaya baik secara ekonomis maupun sosial dari pidana penjara, sebagai suatu sanksi (high economic and social cost of imprisonment). Selain itu pidana penjara mempunyai efek buruk baik secara psikologis, emosional maupun sosial (psychological, emotional and social) terhadap pelaku tindak pidana dan secara potensial mempunyai konsekuensi (potentially damaging consequences) terhadap rusaknya keluarga dan kehidupan sosial dari pelaku tindak pidana.29
Untuk itulah perlu dikembangkan strategi lokal, nasional, regional dan internasional di bidang pembinaan pelaku tindak pidana yang bersifat non-institusional, di mana alternatif pidana penjara dianggap dapat menjadi sarana efektif untuk pembinaan pelaku tindak pidana. Dengan ini pembatasan kemerdekaan hanya dapat dibenarkan dilihat dari sudut keamanan masyarakat (public safety), pencegahan kejahatan (crime prevention), pembalasan yang adil dan penangkalan (just retribution and deterrence), sehingga tujuan utama dari sistem peradilan pidana yang adalah ‘reintegrasi pelaku tindak pidana ke dalam masyarakat’ (reintegration of offender into society) dapat tercapai.
Baik berdasarkan Tokyo Rules maupun berdasarkan resolusi-resolusi PBB yang diselenggarakan dalam beberapa kongresnya, maka secara ringkas dapat dikatakan bahwa tindakan non-custodial ini direkomendasikan mengingat dalam kenyataannya banyak ditemukan sisi negatif pidana penjara, diantaranya kesulitan untuk melaksanakan Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners disebabkan karena populasi penjara yang demikian penuh dan kenyataan bahwa di berbagai negara bertambahnya jumlah penghuni penjara serta lamanya pidana pidana tidak memiliki dampak yang signifikan untuk pencegahan kejahatan.
Dari beberapa rekomendasi internasional tersebut alasan untuk menerapkan tindakan non-custodial adalah karena tindakan non-custodial dianggap lebih manusiawi lebih memperhatikan hak asasi manusia di mana ‘kebebasan manusia’ dianggap sebagai hak yang sangat mendasar . Demikian pula besarnya biaya baik secara ekonomis maupun sosial dari pidana penjara, sebagai suatu sanksi; efek buruk baik secara psikologis, emosional maupun sosial terhadap pelaku tindak pidana; dan rusaknya kehidupan keluarga dan kehidupan sosial dari pelaku tindak pidana dapat ditekan, sehingga tujuan utama dari sistem peradilan pidana yang adalah resosialisasi dan reintegrasi pelaku tindak pidana ke dalam masyarakat dapat dicapai seoptimal mungkin.
Selain kecenderungan-kecenderungan internasional yang diatur dalam Tokyo Rules tersebut, di bawah ini akan dikemukakan pelaksanaan dan alasan-alasan yang dipakai oleh beberapa negara yang telah menerapkan verbal sanction (terutama terhadap anak) dalam sistem hukumnya
Reprimand sebagai salah satu jenis verbal sanction di Yugoslavia diberikan apabila pengadilan menganggap terhadap anak sudah cukup memadai apabila diberikan peringatan. Reprimand is administered to those minors for whom the court finds that it is sufficient to indicate to them the harmfulness of their conduct and to alert them to the fact that a stricter measures might be applied to them if they relapse into crime.30
Dalam laporannya mengenai ‘Recent Trends in Juvenile Deliquency and Reactions of the Juvenile Justice System’, Josine Junger-Tas mengemukakan bahwa ide pembaharuan terhadap peradilan anak menuntut perlunya perubahan dalam proses peradilan dan hukuman terhadap anak. Hal ini menurutnya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah :31
pengaruh buruk dari integrasi sosial anak di dunia yang terutama disebabkan karena pengalaman pahit dari transisi masyarakat agraris ke masyarakat industri.
Pengalaman buruk yang diterima anak terutama karena anak-anak sering ditempatkan pada institusi (penjara) yang sama dengan orang dewasa.
Pemikiran bahwa anak-anak seharusnya dianggap belum dapat bertanggung jawab secara penuh terhadap perbuatannya seperti layaknya orang yang telah dewasa.
Selanjutnya menurut Josine Junger-Tas diperlukan adanya pemikiran-pemikiran antara lain sebagai berikut : 32
kewenangan yang besar dari peradilan untuk melakukan diskresi yang didasari konsep ‘parens patriae’ dengan didukung oleh pemikiran dan prinsip ‘yang terbaik bagi anak (the best interest of the child).
menyampingkan prinsip bahwa hukuman harus sesuai dengan tingkat keseriusan dari perbuatan. Dengan ini maka kepentingan individu si anak adalah lebih penting dari pada perbuatan yang telah dilakukannya (the juveniles personality is of prime importance and not the act committed).
Bahwa bantuan dan pertolongan adalah lebih baik daripada hukuman (aid and assistance instead of punishment).
Sedapat mungkin dihindari proses peradilan yang bersifat formal terhadap anak (formal court proceedings are abolished)
Penjara harus dianggap sebagai cara penyelesaian yang terakhir (the institution is no longer seen as the solution for all ills).
Dalam putusannya, pengadilan Magistrate di Inggris sering pula menerapkan sanksi lisan sebagai putusannya. Di pengadilan Magistrate Inggris seorang pelanggar hukum yang sudah terbukti bersalah, dapat diputus bebas sama sekali oleh hakim. Namun demikian mengingat pelanggarannya dan keadaan si pelanggar hukum, berdasarkan keterangan semua pihak yang berwajib, serta mengingat tidak sesuai apabila terhadap pelanggar hukum dikenakan pidana atau tindakan yang lain, cukup terhadap pelanggar hukum (terutama anak-anak) jika diberi teguran dan petuah saja. Maksud dari teguran atau petuah-petuah ini adalah agar anak tidak melanggar hukum lagi. Dalam hal seperti ini, pengadilan dapat juga memutuskan bahwa anak dibebaskan dengan perjanjian, bahwa anak dalam jangka waktu tertentu tidak boleh melakukan suatu pelanggaran hukum dan tidak boleh melanggar syarat khusus yang ditentukan oleh hakim. 33
Di Paris, jenis sanksi inipun dapat diberikan kepada anak. Dalam kenyataannya kepada polisi di Paris diberikan suatu kewenangan yang besar untuk melakukan diskresi dalam menilai tingkat keseriusan suatu perkara yang dilakukan oleh anak, sehingga banyak perkara-perkara ringan yang tidak sampai ke pengadilan. Sebagai contoh adalah perkara-perkara kecil di mana anak baru pertama kali melakukan tindak pidana dan kepada korbannya telah diberikan ganti rugi dan tidak adanya keluhan yang lain. Demikian pula dalam hal pencurian yang menyangkut nilai uang yang kecil, termasuk di dalamnya mengutil (shoplifting). Dalam hal ini polisi dapat memberikan tegoran kepada anak di tempat-tempat umum (‘on the spot’ warnings of juveniles in public places).34

3. Kajian Kriminologis Perlunya Verbal Sanction Direkomendasikan dalam
Kebijakan Formulasi Hukum Pidana di Indonesia.

Salah satu isu sentral mengenai hukuman (pidana) diungkapkan oleh Roger Hood dan Richard Sparks dalam bukunya ‘Key Issues in Criminology’. Mereka menyatakan bahwa banyaknya kritik dan disparitas dalam pemidanaan sebenarnya disebabkan karena pilihan mengenai jenis pidana yang diberikan oleh hakim tidak lebih adalah aplikasi mekanis dari ketentuan perundang-undangan untuk setiap fakta-fakta dari berbagai kasus. Untuk itu Blackstone menyatakan bahwa ‘penentuan maupun hukuman walaupun diumumkan dan diberikan oleh hakim bukanlah penentuan ataupun hukuman mereka, melainkan penilaian ataupun hukuman yang diberikan oleh undang-undang. Berdasarkan hal ini, Blackstone mengatakan dapat diasumsikan bahwa berbagai keputusan yang dihasilkan – baik melalui interpretasi undang-undang maupun pilihan dari dua preseden – tidak lain adalah hanya masalah aplikasi mekanis dari ketentuan yang sudah ada atau sudah pernah ada.35
Sehubungan dengan disparitas pemidanaan, Harold Hart juga mengemukakan bahwa ‘some disparities in sentencing are inherent in the construction of the laws; others derive from the different personalities of the judges’. Untuk itu selanjutnya Wolf Middendorff menyatakan bahwa dalam proses pemidanaan, hakim, dalam mempertimbangakan tujuan keadilan harus mempertimbangkan : (1) pelaku tindak pidana (the offence); (2) karakter/ kepribadian pelaku (the personality of the offender); (3) kecocokan/ kemanjuran dari hukuman (the efficacy of the penalties); dan aspek korban (aspects of victimology).36
Hal ini sangat penting sehubungan dengan ide untuk merekomendasikan verbal sanction dalam kebijakan formulasi hukum pidana di Indonesia. Dari argumentasi dan kritik yang dilontarkan di atas, dapat dikatakan bahwa memang selama ini jenis pidana yang dijatuhkan oleh hakim semata-mata adalah berdasar undang-undang tanpa adanya kebebasan hakim untuk melakukan pilihan, pidana apakah yang sesungguhnya cocok bagi pelaku tindak pidana.
Hakim selama ini memang memutus karena undang-undang telah mengaturnya demikian. Bagaimana latar belakang pelaku tindak pidana dan mengapa mereka melakukan tindak pidana bukan merupakan faktor yang penting, karena undang-undang telah menyediakan hukuman yang akan dijatuhkan pada pelaku tindak pidana, tanpa pelaku mengerti mengapa ia dijatuhkan pidana yang demikian untuk tindak pidana yang dilakukannya. Mengenai hal ini seorang hakim bernama Marvin Frankel juga mengatakan bahwa ‘prisoners almost never knows the judge’s reasons for imposing an particular punishment’. 37
Sejalan dengan ini, maka ‘individualisasi pidana’ dan ‘elastisitas pemidanaan’ memainkan peranan yang penting, supaya pidana yang dijatuhkan dapat disesuaikan dengan latar belakang serta pribadi pelaku tindak pidana. Dengan ide ini, hakim lebih memiliki kebebasan untuk memutuskan jenis pidana apa yang paling cocok untuk pelaku yang disesuaikan dengan tujuan untuk apa pidana diberikan. Dengan disesuaikannya pidana dengan latar belakang dan pribadi pelaku tindak pidana, diharapkan tujuan pemidanaan-pun dapat dicapai dengan lebih optimal.
Selain hal yang telah dikemukakan di atas, salah satu isu yang juga banyak dikemukakan oleh para ahli kriminologi sebagai akibat adanya pidana adalah ‘labelisasi’ atau ‘stigmatisasi’ yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang pelaku tindak pidana.
Beberapa pembicaraan mengenai labelisasi atau stigmatisasi yang dibicarakan oleh pakar kriminologi dimulai dengan diterbitkannya buku oleh Frank Tannenbaum yang berjudul ‘Crime and the Community” pada tahun 1938. menurut Tannenbaum, kejahatan tidaklah sepenuhnya merupakan hasil dari kekurangmampuan seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompok, akan tetapi ia telah dipaksa untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya. Dengan demikian, menurut Tannenbaum, kejahatan merupakan hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentang tingkah laku yang layak.38
Sebenarnya dapat dikatakan bahwa Tannenbaum adalah peneliti pertama yang memfokuskan diri lebih pada ‘reaksi terhadap tingkah laku’ dibandingkan dengan ‘tingkah laku’ itu sendiri. Menurut argumentasinya, faktor yang mempengaruhi tingkah laku seseorang sehingga dicap sebagai ‘menyimpang’ terutama adalah karena pidana (punishment) yang pernah diterima seseorang (he or she received). 39
Bagaimana stigma dapat tercipta pada diri seseorang juga diungkapkan oleh G. Peter Hoefnagels, yang menyatakan bahwa ‘stigma occurs when a person’s identity is spoiled, which means that the agreement between what someone is and the judgement of society on him is spoiled’. Selanjutnya ia menyatakan pula bahwa stigmatisasi menghasilkan berbagai macam sanksi, dan karena sanksi (pidana) yang diberikan, maka selanjutnya seseorang selanjutnya akan kehilangan pekerjaan, diperlakukan sebagai orang asing oleh koleganya, dan ditempatkan sebagai ‘orang yang tidak terhormat’, dan salah satu kemungkinan stigmatisasi ini tercipta adalah karena proses peradilan, penghukuman dan penjara. 40
‘Stigmatisasi’ ataupun ‘labelisasi’ nantinya akan memberikan dampak yang negatif terhadap pelaku tindak pidana, sehingga penggunaan verbal sanction sebagai suatu sanksi sebenarnya cukup tepat selain dalam realitanya verbal sanction secara historis dan sosiologis telah dipakai sejak lama.

C. KAJIAN MENGENAI VERBAL SANCTION DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA PADA MASA DATANG (IUS CONSTITUENDUM).

Verbal sanction atau sanksi lisan berupa teguran sebenarnya sudah pernah dimasukkan menjadi salah satu jenis sanksi di dalam Konsep Rencana undang-undang tentang Azas-azas dan Dasar-dasar Pokok Tata Hukum Pidana dan Hukum Pidana Indonesia tahun 1964 sebagai jenis sanksi yang ketiga belas.
Demikian pula halnya dengan Rancangan Buku I KUHP yang disusun oleh Tim Penyusun KUHP dari Lembaga Pembinaan Hukum Nasional tahun 1971/1972, pidana peringatan telah dimasukkan dalam Pasal 43 sebagai salah satu jenis pidana pokok yang ke-empat yang berupa pidana peringatan.
Dalam penjelasan Konsep tahun 1972 ini dinyatakan bahwa : terpidana menurut pandangan hidup Pancasila, adalah individu dan anggota masyarakat sekaligus, yang hidupnya tidak dapat diasingkan dari masyarakat. Terpidana yang membahayakan menjalani pidananya di dalam suatu lembaga untuk pembinaannya sedangkan yang tidak membahayakan menjalani pidananya di luar lembaga dengan dibimbing, dan selebihnya cukup diberi peringatan. 41
Selanjutnya Sudarto juga mengemukakan bahwa kelihatannya pidana ini seperti bukan pidana. Ini memang demikian, kalau dilaksanakan begitu saja, tanpa alasan yang meyakinkan dan sama sekali tidak diresapi maknanya oleh terdakwa dan tidak pula disertai pidana tambahan. Akan tetapi kalau pidana ini diterapkan dengan tanggung jawab penuh dan disadari dengan sungguh-sungguh oleh terdakwa, maka ada artinya juga.
Hal lain yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penjatuhan pidana ini ialah pandangan fihak polisi dan masyarakat pada umumnya. Bagi polisi penjatuhan pidana itu mungkin dirasakan tidak ‘mengimbangi’ segala usaha untuk menyidik dan menyiapkan perkaranya, sehingga masuk untuk diajukan ke pengadilan. Harus pula mendapat pertimbangan perasaan yang mungkin ada pada masyarakat yang menyaksikan atau mendengar tentang perbuatan yang telah dilakukan oleh terpidana. Mereka ini juga menimbang-nimbang tentang sesuai tidaknya pidana yang dijatuhkan itu. Bagaimanapun juga di kalangan masyarakat masih terdapat apa yang oleh Enschede dinamakan ‘vergeldingsnotie’ atau ‘vergeldingsbehoefte’ (kebutuhan akan pengimbalan atau pembalasan), yang tidak dapat diabaikan begitu saja, meskipun juga tidak boleh menjadi pedoman semata-mata. 42
Dalam hal ini penulis sependapat dengan pemikiran dari Sudarto bahwa untuk merekomendasikan verbal sanction ini ke dalam kebijakan formulasi hukum pidana Indonesia yang akan datang diperlukan pemikiran yang sangat matang, baik pertimbangan mengenai karakter ataupun latar belakang pelaku tindak pidana, kemampuan hakim untuk memahami jiwa pelaku tindak pidana, maupun pertimbangan akan perasaan yang mungkin ada pada masyarakat yang menyaksikan maupun mendengar tentang perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Setelah dua Konsep yang dikemukakan di atas yaitu Konsep 1964 dan Konsep 1972, dalam perkembangannya ternyata jenis sanksi ini tidak lagi dimasukkan dalam salah satu jenis sanksi pidana yang ada. Jenis sanksi lisan ini kemudian muncul kembali dalam Konsep KUHP 1999/2000, dalam Pasal 109 sebagai salah satu jenis pidana pokok untuk anak yang dikategorikan dalam ‘pidana nominal’ yang terdiri dari (1) peringatan; dan (2) teguran keras. Pidana nominal ini merupakan jenis pidana paling ringan untuk anak. Namun konsep KUHP 1999/2000 tidak memasukkan jenis sanksi lisan berupa teguran untuk orang dewasa.
Dalam Pasal 109 Konsep KUHP 2000, diatur pidana bagi anak yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis Pidana yang berupa verbal sanction diatur dalam Pasal 109 ayat (1) butir a yang menyatakan bahwa Pidana Nominal terdiri dari 1) pidana peringatan; 2) pidana teguran keras. Yang dimaksud dengan ‘pidana peringatan’ adalah pemberian nasihat kepada anak agar menjauhi perbuatan yang negatif. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘pidana teguran keras’ adalah tidak hanya sekedar memberi nasihat melainkan anak diberi peringatan keras.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, sebenarnya dalam ide untuk menggunakan jenis sanksi/tindakan non-custodial berupa – verbal sanction – sebenarnya sudah pernah ada. Selain ide ini ternyata sudah pernah ada, jenis tindakan berupa ‘teguran’ ternyata juga telah diatur dalam kebijakan formulasi hukum pidana di Indonesia yaitu dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, walaupun bukan sebagai pidana maupun tindakan.
Namun demikian sangat disayangkan bahwa ternyata jenis sanksi/tindakan berupa ‘teguran’ tersebut ternyata dalam perjalanannya tidak pernah disinggung kembali dalam Konsep sesudah Tahun 1972. Demikian pula dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sifatnya verbal sanction bukan sebagai pidana, juga bukan sebagai tindakan, hanya sebagai tambahan saja dari tindakan yang dapat diberikan hakim kepada anak nakal.

IV. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ide dasar merekomendasikan verbal sanction sebagai salah satu sanksi pidana (tindakan) non-custodial dalam kebijakan formulasi hukum pidana di Indonesia adalah sebagai berikut:
mengingat bahwa verbal sanction sebagai salah satu jenis sanksi non-custodial belum diatur dalam sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini (ius constitutum), karena pada saat dibuat KUHP belum mengantisipasi perkembangan tersebut, dengan demikian maka sungguh tepat apabila verbal sanction direkomendasikan sebagai salah satu jenis sanksi dalam kebijakan formulasi hukum pidana di masa yang akan datang.
Ide dasar untuk merekomendasikan verbal sanction sebagai salah satu jenis sanksi (tindakan) non-custodial dalam kebijakan formulasi hukum pidana di Indonesia dapat ditelaah dari berbagai kajian yaitu :
(1) Ditinjau dari tujuan pemidanaan
Berdasarkan konsepsi / pemahaman bahwa pidana harus cocok dengan karakter si pelaku (punisment should fit the criminal), maka titik berat berat pemidanaan seyogyanya difokuskan pada orang yang melakukan tindak pidana bukan hanya pada perbuatan, untuk itu harus ditetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan yang sesuai dengan individu (elasticity of sentencing dan individualization of punishment).
Berdasarkan falsafah hidup negara/bangsa di mana pidana bertujuan untuk mengadakan suatu ‘imbangan’ baik terhadap individu maupun masyarakat, sehingga tercipta keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat baik, maka Konsep KUHP bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana. Sanksi pidana non-custodial –termasuk verbal sanction-- dalam hal ini merupakan pilihan yang dapat diambil karena selain memperhatikan aspek perlindungan masyarakat, juga memberikan pembinaan terhadap pelaku.
(2) Ditinjau dari kecenderungan-kecenderungan internasional.
Pertimbangan-pertimbangan internasional untuk merekomendasikan sanksi non-custodial --termasuk verbal sanction-- terutama disebabkan karena efek negatif pidana penjara dan populasi penjara yang terlalu penuh yang menyebabkan pelaksanaan Standar Minimum Rules for Treatment of Prisoners tidak dapat dilakukan secara konsisten. Selain itu pidana penjara mempunyai efek buruk baik secara psikologis, emosional maupun sosial (psychological, emotional and social) terhadap pelaku tindak pidana dan secara potensial mempunyai konsekuensi (potentially damaging consequences) terhadap rusaknya keluarga dan kehidupan sosial dari pelaku tindak pidana.
(3) Ditinjau dari aspek kriminologis
Dari aspek kriminologis, rekomendasi verbal sanction sebagai sanksi pidana (tindakan) non-custodial terutama disebabkan karena kritik mengenai pidana, di mana pilihan mengenai jenis pidana yang diberikan oleh hakim tidak lebih adalah aplikasi mekanis dari ketentuan perundang-undangan karena hakim memutuskan terutama berdasarkan apa yang telah ditentukan undang-undang tanpa pertimbangan konkrit mengenai pelaku tindak pidana, karakter/kepribadian pelaku dan kecocokan/kemanjuran dari hukuman terhadap pelaku. Selain itu dampak ‘labelisasi’ atau ‘stigmatisasi’ terhadap terpidana adalah hal yang patut dipertimbangkan dalam memberikan pidana, karena ‘labelisasi’ atau ‘stigmatisasi’ yang diterima seseorang seringkali disebabkan karena pidana yang pernah diterima seseorang. Untuk itu tindakan non-custodial – termasuk verbal sanction – adalah pilihan yang dapat diambil untuk mengurangi dampak ‘stigmatisasi’ atau ‘labelisasi’ ini di kemudian hari.Secara historis dan sosiologis sebenarnya verbal sanction sebagai salah satu sanksi telah lama dipergunakan sebagai sanksi dalam masyarakat dan dalam kenyataannya cukup efektif untuk mencegah seseorang melakukan perbuatan yang dianggap menyimpang dari kebiasaan atau adat istiadat.
3. Verbal sanction atau sanksi lisan berupa teguran sebenarnya sudah pernah dimasukkan menjadi salah satu jenis sanksi di dalam Konsep Rencana undang-undang tentang Azas-azas dan Dasar-dasar Pokok Tata Hukum Pidana dan Hukum Pidana Indonesia tahun 1964 dan Rancangan Buku I KUHP yang disusun oleh Tim Penyusun KUHP dari Lembaga Pembinaan Hukum Nasional tahun 1971/1972. Namun dalam perkembangannya sanksi tersebut tidak dicantumkan sebagai jenis sanksi lagi pada Konsep KUHP 1999/2000. Dalam Konsep KUHP 1999/2000 pidana ini hanya diberikan terhadap anak. Mengingat pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan di atas, maka penulis menganggap perlu untuk merekomendasikan verbal sanction sebagai sanksi pidana non-custodial dalam sistem hukum pidana di Indonesia pada masa datang (ius constituendum) baik bagi anak-anak maupun orang dewasa

B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka peneliti menyarankan untuk mempertimbangkan kembali jenis-jenis pidana yang terdapat dalam Konsep KUHP, dengan memasukkan verbal sanction sebagai salah satu jenis pidana yang diberikan tidak hanya untuk anak-anak melainkan juga untuk orang dewasa.
Hendaknya pengaturan mengenai jenis pidana berupa verbal sanction baik bagi orang dewasa maupun anak-anak juga dilengkapi dengan tujuan, pedoman maupun dan syarat-syarat khusus untuk memudahkan dalam penerapannya.

PUSTAKA ACUAN
Literatur :
Aryeh Neier, Crime and Punishment : A Radical Solution, New York : a Scarborough Book, Stein and Day Publishers, 1978
A.S Hornby, E.V Gatenby, H. Wakefield, The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Second Edition, London : The English Language Book Society and Oxford University Press, 1963
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996
Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997
Erich Goode, Deviant Behavior, Sixth Edition, New Jersey : Prentice Hall Pearson Education, 2001
Harold Hart (ed), Punishment : For and Againts, , New York City : Hart Publishing Co. Inc., 1971
Josine Junger-Tas, Recent Trends in Juvenile Deliquency and Reactions of the Juvenile Justice System, Netherlands : Ministry of Justice The Hague, 1984
Josine Junger-Tas, Juvenile Courts Structures : Problem and Dilemmas, Netherlands : Ministry of Justice, 1979
Kimball Young, Raymond W. Mack, Sociology and Social Life, Third Edition, New York : American Book Company, 1965.
Marc Ancel, Suspended Sentence, London : Heinemann, 1971
Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, 1985
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiel Indonesia di Masa Datang, (Pidato Pengukuhan), Semarang : FH Undip, 1990
Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Edisi Revisi, Bandung : Alumni, 1992
Muladi dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, 1997
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni, 1992
Peter Baehr, Pieter Van Dijk, Adnan Buyung Nasution, Leo Zwaak, Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta : Yayasan obor Indonesia, 1997.
R.A. Koesnoen, Peradilan Anak-anak di Negara-negara yang Telah Maju : Makalah dalam Lokakarya tentang Peradilan Anak yang diselenggarakan BPHN dan Universitas Diponegoro, Jakarta : Binacipta, 1977
Roger hood, Richard Sparks, Key Issues in Criminology, London : World University Library Weidenfeld and Nicolson, Tanpa Tahun
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung : Eresco, 1992
Stanley E. Group, Theories of Punishment, London : Indiana University Press, 1971
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Bandung, 1977
Sudarto, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, Kertas Kerja : Lokakarya Masalah Pembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional Buku I, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1984
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung ; Eresco, 1986
Zulfa Djoko Basuki, Mazhab Sejarah dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan Hukum Nasional Indonesia dalam Lili Rasyidi, B. Arief Sidarta : Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994

Dokumen:
Basic Principles for Treatment of Prisoners diterima oleh Majelis Umum PBB dengan Resolusi 45/111 pada tanggal 14 Desember 1990
Body Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonmnet dengan Resolusi 43/173 diterima oleh Majelis Umum PBB tanggal 9 Desember 1988.
Dokumen, Fifth United Nation Congress on The Prevention of Crime and the Treatmen of Offenders, New York : United Nation 1975
Dokumen, Seventh United Nation Congress on The Prevention of Crime and Treatment of Offenders, Milan 26 Agustus – 6 September 1995, Resolusi 16
Dokumen, A Compilation of International Instruments, Volume I, United Nation, Ney York, 1993.
Dokumen, Sixth United Nation Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Report, Caracas-Venezuela, 1981
Dokumen, Seventh United Nation Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Milan 26 Agustus – 6 September 1985, resolusi 16
Dokumen, International Review of Criminal Policy, Nos. 39 and 40, New York : United Nation, 1990.
Dokumen, Juvenile Deliquency, Yugoslavia : Yugoslav Survey, 1977
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Buku I (Sebelum dan Sesudah Direvisi/ Disempurnakan), Badan Perencana L.P.H.N. Seksi B dan Team Peninjau Kembali Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Buku I Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, 1975
Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners telah diadopsi dalam UN Congress on Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang pertama yang diselenggarakan di Geneva pada tahun 1955, disetujui oleh Economic and Social Council dengan resolusi no. 663 tanggal 31 Juli 1957 dan no. 2076 tanggal 13 Mei 1977.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia